Djawanews.com – Indonesia tidak hanya berperang dengan virus Corona Covid-19, namun juga serangkaian penyakit lain, yakni diare dan TBC. Kabar ini tentu jadi bukti bahwa akses kesehatan di Indonesia masih jadi barang yang mahal bagi rakyat Indonesia.
Berdasarkan Joint Monitoring Review dari WHO dan Unicef, lebih dari 150.000 anak, terlebih lagi balita, meninggal setiap tahun karena diare, pneumonia, dan buruknya sanitasi. Tak hanya itu, angka stunting di Indonesia juga lumayan tinggi, yakni 30 persen. Hal ini disebabkan karena sulitnya air bersih.
Direktur Air Minum Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Yudha Mediawan menjelaskan, pemerintah sudah berusaha mengoptimalkan ketersediaan dan akses air bersih. Hal ini diatur melalui UU No. 19 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan PP No.122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.
“Di dalam aturan-aturan tersebut mengamanatkan bahwa air minum adalah akses universal yang harus bisa mencakup seluruh masyarakat,” kata Yudha, Rabu (22/7/2020).
Ia juga mengatakan, dari total penduduk Indonesia yang berada di kisaran 250 juta jiwa, akses air bersih hanya 89 persen. Dari total tersebut 21 persen didapat dari jaringan perpipaan, sisanya adalah non-perpipaan dari mata air, sumur, atau sumber air lain.
Rakyat Indonesia juga harus berperang dengan penyakit pernapasan tuberkolosis. Pasalnya, jumlah penderita TBC di Indonesia cukup banyak. Bahkan Indonesia masuk dalam ranking ketiga penderita TBC tertinggi di dunia. Informasi ini disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pengantar RatasPercepatan Eliminasi TBC di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa lalu.
Jokowi menyampaikan, data tahun 2017 menunjukan ada 165.000 jiwa meninggal disebabkan karena TBC. Sedangkan di tahun 2018 tercatat jumlah kematian karena TBC sebanyak 98 ribu jiwa.
Tingkat penyakit diare dan TBC di Indonesia tentu jadi hal yang sangat disayangkan. Artinya, pemerintah belum benar-benar serius memberikan akses kesehatan dan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia dengan maksimal.