Sejarah pemindahan ibu kota Indonesia telah terjadi sejak lama. Berikut ini ulasannya.
Presiden Joko Widodo telah mencanangkan perpindahan ibu kota negara Indonesia, dari DKI Jakarta berpindah ke luar Pulau Jawa. Jika rencana tersebut benar-benar terjadi, maka pemerintahan Jokowi menjadi salah satu pemerintahan yang mencatatkan sejarah pemindahan ibu kota Indonesia.
Sejarah pemindahan ibu kota Indonesia memang bukan wacana baru.
Wacana pemindahan ibu kota negara Indonesia bahkan telah terjadi sejak masa kolonial. Saat itu yang menjadi Gubernur Hindia Belanda adalah Jenderal Herman Willem Daendels (1762-1818). Wacana perpindahan tersebut menjadi wacana pertama yang dicanangkan di Indonesia.
Seperti yang dilansir dari historia.id, Herman Willem Daendels saat itu ingin memindahkan ibu kota Indonesia. Dari Batavia (Jakarta) menuju Surabaya. Hal ini juga dibenarkan oleh Achmad Sunjayadi selaku sejarawan Universitas Indonesia.
Dalam Historia.id, Achmad Sunjayadi mengatakan bahwa perpindahan yang diinginkan Daendels dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama adalah alasan kesehatan. Saat itu Batavia menjadi kota sumber penyakit. Alasan kedua adalah karena pertahanan. Daendels menilai bahwa pertahanan di Surabaya lebih baik karena adanya benteng dan pelabuhan.
Achmad Sunjayadi juga mengatakan, sebagai ibu kota, Batavia sempat dijuluki Koningin van den Oost yang berarti Ratu dari Timur. Namun lama-kelamaan Batavia justru terkenal sebagai kuburan orang Belanda. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya penyakit yang menjangkit orang-orang di Batavia, termasuk orang Belanda.
Seorang ahli kesehatan yang juga berasal dari Belanda ternyata juga ikut berkomentar terhadap kondisi Batavia saat itu. Ahli kesehatan tersebut bernama Hendrik Freek Tillema. Hendrik mengatakan bahwa Batavia tidak layak menjadi pusat pemerintahan.
Alasan kesehatan juga mendasari kritikan Hendrik atas Batavia. Ia mengatakan bahwa Batavia sebagai salah satu kota pelabuhan justru tidak cocok menjadi pusat pemerintahan. Kota Pelabuhan dianggap memiliki hawa panas, sehingga menimbulkan hawa tidak sehat. Dari situlah berbagai wabah dan penyakit dinilai dapat berkembang pesat.
Hendrik Freek Tillema kemudian mengusulkan kota Bandung sebagai ibu kota. Ide Hendrik kemudian coba dilaksanakan saat pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921) pada 1920.
Di dalam dokumen yang dimiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyatakan bahwa perpindahan ibu kota saat itu ternyata tidak terlaksana. Kegagalan tersebut disebabkan karena kondisi dunia yang tengah depresi pada 1932. Selain itu Perang Dunia juga menjadi faktor lain.
Perpindahan ibu kota baru terwujud setelah perang kemerdekaan pada 1947. Pada tahun 1947, pemerintah saat itu membentuk Panitya Agung yang bertugas mencari ibu kota negara. Pencarian tersebut dimaksudkan agar ibu kota tidak direbut kembali oleh penjajah. Presiden Sukarno juga termasuk salah satu anggota Panitya Agung.
Perpindahan pertama yang terealisasi adalah saat ibu kota digeser ke Yogyakarta. Pergeseran ibu kota tersebut disebabkan karena pada tanggal 2 Januari 1946, Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII bersedia menerima amanah.
Semakin lama, Belanda sadar bahwa ibu kota saat itu telah berpindah ke Yogyakarta. Karena hal tersebut kemudian Belanda melakukan agresi pada 19 Desember 1948. Saat itu Soekarno-Hatta pun ditangkap pasukan Belanda.
Panitya Agung kemudian mengusulkan untuk perpindahan ibu kota lagi, daerah tersebut antara lain Bandung, Malang, Surabaya, Surakarta, Temanggung, bahkan dan Magelang.
Dilihat dari sejarahnya, Jakarta (yang saat itu Batavia) sebagai ibu kota memang telah memunculkan beberapa kontroversi. Hal tersebut bisa dilihat dari sejarah pemindahan ibu kota Indonesia. Jika pemindahan kali ini berhasil, maka Jokowi berhasil menorehkan sejarah baru bagi bangsa Indonesia.