Djawanews.com – Miris, kehidupan warga di kerangkeng rumah Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Pereangin-angin mulai terungkap. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut, kehidupan warga di dalam kerangkeng sangat dibatasi. Hal tersebut dilakukan termasuk dalam beribadah. Penghuni kerangkeng dilarang pergi shalat jumat atapun ke gereja.
"Kami lihat ada sajadah, tapi kami tanya apakah boleh shalat Jumat, tidak boleh. Shalat ied, tak boleh. Kemudian yang nonmuslim apakah boleh ke gereja di hari Minggu, Natal dan misa, tak boleh," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (30/1).
LPSK juga mengatakan, para penghuni kerangkeng hilang kebebasan dan dieksploitasi untuk bekerja di pabrik milik Bupati langkat tanpa mendapatkan gaji. Mereka ditahan dalam kerangkeng dengan waktu yang bervariasi, mulai dari 1,5 hingga 4 tahun. Tak hanya itu, keluarga bahkan dilarang membesuk selama 3-6 bulan pertama.
"Informasi lainnya bahwa mereka dibatasi aksesnya. Termasuk warga tak bisa membesuk mereka dalam waktu tertentu 6 bulan atau 3 bulan pertama tak bisa diakses keluarga," ujar Edwin.
Menurut Dia, pembatasan di kerangkeng manusia itu melampaui pembatasan yang terjadi dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan milik negara.
"Tak ada pembatasan seperti itu, baik pada proses penyidikan, atau orang terpidana dalam sistem negara," kata dia.
Fakta lain terungkap yakni pernah ada korban jiwa dalam kerangkeng manusia Bupati Langkat. Informasi tersebut berdasarkan aduan warga Langkat yang seorang keluarganya menjadi korban meninggal di kerangkeng itu.
"Jadi dari informasi yang kita dapat dari keluarga ada keluargnya meninggal yang disampaikan kepada kami setelah satu bulan menjalani rehabilitasi di sel tahanan Bupati Langkat," kata Edwin, dikutip dari Tribun-Medan.com.
Peristiwa tersebut terjadi pada 2019 lalu. Ketika keluarga mendatangi sel untuk menjemput korban, jenazah sudah dalam keadaan dimandikan dan dikafani untuk segera dikebumikan.
"Jadi dari pengakuan keluarga korban meninggal karena alasan sakit asam lambung. Setelah satu bulan berada di dalam, pihak pengelola rutan menelepon jika keluarganya meninggal dengan alasan sakit," ujar Edwin. "Namun, pihak keluarganya mencurigai ada kejanggalan kematian keluarganya," terangnya.
Fakta lainnya yakni pihak keluarga rupanya diminta menandatangani surat perjanjian bahwa tidak boleh mengajukan pembebasan tahanan selama batas waktu yang ditentukan. Selain itu, pihak keluarga harus menyepakati tidak akan keberatan kalau tahanan sakit atau meninggal dunia. Edwin mengatakan, surat bermaterai itu ditandatangani oleh pengurus sel dan pihak keluarga tahanan.
"Jadi dalam surat yang kita dapat itu menyatakan jika keluarga tidak boleh meminta tahanan keluar sebelum masa waktu sekitar 1 tahun lebih. Dan keluarga juga tidak boleh keberatan jika tahahan meninggal atau sakit," ucapnya.
Terakhir, LPSK juga mengungkapkan bahwa tidak semua penghuni kerangkeng Bupati Langkat merupakan pengguna narkoba. Sebagaimana diketahui, kerangkeng tersebut sebelumnya diklaim Bupati Langkat sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotika.
"Contohnya ada yang judi, ada yang tak setia sama istrinya, mencuri, jadi macam-macam. Makanya diksi rehabilitasi itu jauh dari kenyataan," kata Edwin lagi.
Menurut LPSK, temuan-temuan ini ganjil dan kuat mengarah pada tidak pidana perdagangan orang. Sebab, terjadi penyekapan dan eksploitasi karena bekerja tanpa digaji. Serupa dengan LPSK, Komnas HAM juga mengungkap bahwa pernah ada korban jiwa dalam kerangkeng Bupati Langkat. Diduga, ada lebih dari satu penghuni yang meninggal sejak kerangkeng itu didirikan pada 2012.
“Faktanya, kita temukan memang terjadi satu proses rehabilitasi yang cara melakukannya memang penuh dengan catatan kekerasan fisik sampai hilangnya nyawa," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam jumpa pers di Markas Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara (Sumut), Sabtu (29/1).
Anam menjelaskan, Komnas HAM telah menelusuri kasus kematian itu dan telah menemukan bukti-bukti yang kuat. Meninggalnya tahanan diduga karena mendapat penganiayaan. Penganiayaan tersebut disinyalir dilakukan secara terstruktur dan sistematis.
"Cara merehabilitasi penuh dengan catatan kekerasan, kekerasan yang sampai hilangnya nyawa,” ucapnya, dikutip dari Tribun Medan.
Menurut Anam, fakta tersebut diperoleh dari pengakuan dan testimoni sejumlah warga yang diyakini pernah melihat peristiwa itu. Berdasarkan penuturan saksi, lanjut Anam, korban yang mendapat penganiayaan itu adalah mereka yang baru masuk kerangkeng selama empat sampai enam pekan pertama. Alasan penganiayaan disebut karena korban melawan.
"Jadi kami menelusuri, kami dapat (temuan korban meninggal). Temen-temen Polda menelusuri juga dapat (korban meninggal) dengan identitas korban yang berbeda," ungkapnya. Dilansir dari Tribun Medan.
Baca artikel terkait Berita Bupati Langkat. Simak berita menarik lainnya hanya di Djawanews dan ikuti Instagram Djawanews.