Djawanews.com – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo masih menjadi pusat perhatian lantaran peristiwa di Desa Wadas dimana aparat kepolisian bertindak represif dan menangkapi sampai 60 orang warga. Hal tersebut membuat Ganjar dinilai mirip dengan penguasa zaman Multatuli. Pernyataan itu disampaikan pemerhati sejarah, Arief Gunawan.
Arief Gunawan melihat dan merespon gejolak yang terjadi di Desa Wadas, kawasan yang masih di bawah pemerintahan Ganjar. Menurut Arief, Ganjar seperti Demang Parungkujang dan Adipati Lebak dalam kisah Max Havelaar yang ditulis oleh Edward Douwes Dekker atau dikenal juga sebagai Multatuli.
“Dua pejabat bumiputera itu merupakan antek kolonial Belanda yang tidak sudi membela rakyatnya sendiri. Mindset yang sama juga diperlihatkan oleh Ganjar Pranowo,” kata Arief dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 11 Februari.
Sebagai Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo dianggap tidak mampu membela rakyat Desa Wadas, Purwerojo, Jawa Tengah, yang kini sedang tertindas karena hak atas tanah yang mereka miliki terganggu.
Ganjar Pranowo Disebut Lebih Memilih Menjadi Kaki Tangan Oligarki dan Mengorbankan Pencitraannya
Menurut Arief, Ganjar yang belakangan ini rajin pencitraan karena ingin menjadi calon presiden di Pilpres 2024, lebih memilih menjadi kaki tangan oligarki ketimbang membela rakyatnya sendiri. “Sebagai elite PDI Perjuangan yang selalu mengusung dan membusungkan diri mengaku sebagai partai wong cilik, ternyata mindset Ganjar nonsense belaka,” tegasnya.
Bahkan, Ganjar Pranowo juga dianggap menafikan ajaran Sukarno, yakni marhaenisme yang secara filosofis dan sosiologis esensinya adalah membela hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh para petani. Dalam historiografi nasional, kata dia, rakyat dan wilayah Purworejo juga memiliki peran besar dalam era Perang Diponegoro (Perang Jawa). Perang ini esensinya merupakan perlawanan rakyat terhadap praktik perampasan tanah yang dilakukan oleh kolonialis Belanda.
“Perang Diponegoro meletus berawal dari kegiatan ukur-mengukur tanah yang dilakukan kolonialis Belanda dan aksi-aksi KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Lege),” ujar Arief Gunawan.
KNIL merupakan pasukan profesional yang anggotanya terdiri dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Dengan mendirikan KNIL, Belanda ingin mengadu domba bangsa ini. Ganjar Pranowo juga dianggap mengingkari budaya luhur masyarakat Jawa yang secara filosofis menganggap tanah merupakan hal yang sangat sakral, yang tergambar dalam ungkapan sadhumuk bathuk sanyari bhumi, ditohi kanti pati (walaupun tidak seberapa luas tanah yang dimiliki, namun soal tanah adalah soal nyawa).
Dapatkan warta harian terbaru lainya, ikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.