Djawanews.com – Kurang lebih tiga bulan, Eduard Douwes Dekker atau Mulltatuli menetap di Rangkasbitung, Lebak. Ia datang pada Januari 1856 dan meninggalkan kota kecil itu pada bulan April. Namun kunjungannya kali ini berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya.
Sepulangnya dari Lebak, ia menuliskan praktik busuk tanam paksa di era kolonial dalam karya monumental, Max Havelaar of De koffieveillingen der Nederlandse Handelsmaatshappij (dikenal pula sebagai Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Belanda). Buku itu akhirnya terbit pertama kali pada tahun 1860 dan membuka mata dunia soal kekejaman penjajahan Belanda di Hindia (Indonesia saat itu).
Multatuli dan lahirnya Max Havelaar
Multatuli sejatinya telah melakoni dinas selama lebih dari sepuluh tahun di Hindia-Belanda. Ia mencicipi berbagai jenis pekerjaan dari pegawai Dewan Pengawas Keuangan di Algemene Regenkamer Batavia (sekarang Jakarta), kontrolir di Sumatera Barat, pegawai di kantor residensi Bagelen, Purworejo, hingga asisten residen di Ambon.
Saat bekerja di Sumatera Barat, Mulatatuli menghasilkan karya tulis pertamanya, berjudul Losse Bladen uit het Dogbock van een Oud Man (Halaman-halaman Lepas dari Buku Harian Seorang Lelaki Tua). Saat itu medio 1842, usianya masih 22 tahun.
Gaya hidup Multatuli yang aristokratis dan bringasan, kerap membuatnya sulit beradaptasi dengan lingkungan sosial dan pekerjaan. Ia begitu gemar berpesta dan menghabiskan uang di meja judi, menempeleng kepala siapapun sekena hati hingga tak jarang terlibat dalam perkelahian.
Kegemarannya berjudi membuatnya terlilit banyak hutang, ia luntang-lantung mencari pinjaman ke sana ke mari. Hingga akhirnya pada tahun 1855, Multatuli ditugaskan sebagai asisten residen di Lebak.
Di Lebak, Multatuli hidup bersama istrinya, Everdine dan putranya, Pieter Jan Constant Eduard. Di kota kecil ini pula, Mulatuli menciptakan karyanya yang monumental, Max Havelaar yang kemudian mendunia. Karyanya hingga kini telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa dan menjadi bacaan wajib di sejumlah perguruan tinggi Eropa.
Membaca Max Havelaar karya Multatuli seperti mengenang kembali kisah kelam penindasan manusia atas manusia lainnya. Tak heran, banyak tokoh pembebasan saat itu yang menjadikan karya pria kelahiran 2 Maret 1820 ini sebagai salah satu rujukan untuk mengusung cita-cita kemerdekaan bangsa mereka.