Djawanews.com – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Mahfuz Sidik, mengatakan pemahaman agama yang tidak utuh dan agenda politik seringkali memicu ekstrimisme pemikiran dan sikap beragama yang salah. Mahfuz Sidik mengatakan, kultur umat Islam Indonesia berada di tengah-tengah atau moderat. "Kultur dasar muslim di Indonesia itu ummat tengahan (ummatan washatan). Tapi pemahaman yang tidak utuh dan agenda politik, yang seringkali memicu ekstremisme pemikiran dan sikap beragama," ungkap Mahfuz Sidik dalam keterangannya, Senin (18/10/2021). Menurut Mahfuz, menjadi orang Indonesia itu takdir, sementara menjadi Muslim, Nasrani, Hindu, dan Budha adalah pilihan. Perbedaan pilihan keyakinan agama bertemu dalam kesamaan takdir, yaitu orang Indonesia. Maka agenda politik keumatan, dikatakan Mahfuz, seharusnya malah untuk memperkuat takdir bersama Indonesia. Bukan justru sebaliknya, memecah-belah Indonesia. "Budaya umat tengahan akan kuat jika pemahaman terhadap ajaran Islam terus dibangun dan politisi tidak menjadikan sentimen agama sebagai alat dan agenda politik," ujarnya. Dia menambahkan sentimen keagamaan tentu saja dapat mengganggu konsep ummatan wasathan, serta memunculkan potensi terjadinya kembali perpecahan politik dan masyarakat yang luar biasa seperti pada Pemilu 2019 yang lalu. "Konsep ummatan wasathan merupakan konsep masyarakat harmonis, moderat, dan berdiri di tengah sehingga dapat diterima oleh semua pihak," kata Mahfuz. Menurutnya, apabila pembelahan politik terjadi lagi pada Pemilu 2024, maka konsep ummatan wasathan akan kembali porak poranda, karena beda pilihan politik, akibat agama dipolitisasi. "Ketika Pilpres 2019 lalu, pembelahan politiknya luar biasa. Bahkan, sampai ada perceraian akibat perbedaan pilihan capres. Jadi pernikahan yang merupakan wahana ibadah dalam Islam, bisa porak-poranda akibat pilihan politik. Ini akibat dari politisasi agama," terangnya. Ada dua esensi tentang ummatan wasathan,kata Mahfuz Sidik, yang pertama adalah kebaikan atau al khairiyah. Dan, yang kedua adalah prinsip keadilan atau keseimbangan. Sedikit saja beranjak dari dua nilai tersebut, sambung dia, akan menjauh dari masyarakat ummatan wasathan, bahkan bisa membuat umat Islam menjelma menjadi faktor yang destruktif. "Penyimpangan dari prinsip ummatan wasathan terjadi bukannya hanya karena faktor politik, tetapi faktor pemahaman," ujarnya. Terkait faktor pemahaman, Mahfuz mencontohkan, pengalaman tiga tahun lalu, ketika ia meminta pengurus musala di dekat rumahnya mengecilkan volume pengeras suara karena di rumahnya ada balita sakit. "Namun isu yang muncul kemudian adalah ada 'orang politik' yang melarang azan di musala, isu yang membuat saya harus memberi klarifikasi," jelas Mahfuz. Persoalan pengeras suara itu, terusnya, menunjukkan dalam ummatan wasathan, diperlukan pemahaman keislaman yang baik, misalnya suatu mushala dengan speaker yang bersuara kencang itu ada di sebuah kampung yang cuma berisi 20 rumah dengan jarak berjauhan, maka hal itu baik. "Namun bila kampung itu sudah berisi 200 keluarga dan gang-gang di situ sudah sempit, maka speaker yang kencang justru akan mengganggu sendi-sendi kehidupan. Ini satu contoh, betapa faktor pemahaman keislaman yang baik itu sangat penting," tegasnya. Karena itu, Mahfuz berharap agar Umat Islam dapat memahani konsep Ummatan Wasathan di tengah-tengah masyarakat agar diterima oleh semua pihak, dan tidak terpengaruh oleh politisasi agama kelompok tertentu. "Jadi bila kita mau membangun masyarakat yang Ummatan Wasathan, maka kebaikan dan keadilan atau keseimbangan harus menjadi nilai dan orientasi kita bersama," tutupnya. Ingin tahu informasi mengenai kabar politik lainnya? Pantau terus Djawanews dan ikuti akun Instagram milik Djawanews |