Djawanews.com – Kebangkrutan yang menimbulkan krisis ekonomi dan politik di Sri Lanka telah menjadi peringatan besar bagi dunia. Bahkan, ancaman krisis Sri Lanka juga telah menghantui negara-negara lainnya.
Hal ini disebabkan akibat adanya negara-negara yang memiliki situasi ekonomi yang cukup mirip dengan negara itu. Ini dapat dilihat dari jumlah utang luar negeri yang cukup banyak serta inflasi yang begitu tinggi.
Negara Mana Sajakah yang Terancam Bangkrut seperti Sri Lanka? Berikut Rangkumannya:
- Laos
Negara Asia Tenggara yang terkunci di tengah daratan ini telah menghadapi risiko gagal bayar pinjaman luar negerinya selama beberapa bulan. Sekarang, kenaikan harga minyak karena serangan Rusia ke Ukraina telah menambah tekanan pada pasokan bahan bakar. Ini mendorong naiknya harga bahan pangan di negara dengan 7,5 juta penduduk itu
Media lokal melaporkan antrean panjang untuk bahan bakar, dan mengatakan beberapa rumah tangga tidak mampu membayar tagihan mereka. Mata uang Laos, kip, telah jatuh dan turun lebih dari sepertiga terhadap dolar AS tahun ini.
"Suku bunga yang lebih tinggi di AS telah memperkuat dolar, dan melemahkan mata uang lokal, meningkatkan beban utang mereka dan membuat impor lebih mahal," lapor media itu
Laos, yang sudah terlilit utang, sedang berjuang untuk membayar kembali pinjaman tersebut dan juga mendanai kebutuhan negara yang harus diimpor dari negara lain. Bank Dunia mengatakan negara itu memiliki cadangan US$ 1,3 miliar per Desember tahun lalu.
Tetapi total kewajiban utang luar negeri tahunannya adalah sekitar jumlah yang sama hingga tahun 2025. Akibatnya, Moody's Investor Services menurunkan peringkat negara yang diperintah komunis menjadi 'junk' pada bulan lalu.
"Utang publik Laos berjumlah 88% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2021, dengan hampir setengah dari angka itu berutang ke China," ujar Bank Dunia.
China sendiri memang cukup rajin memberikan pinjaman kepada negara yang notabenenya juga merupakan tetangganya itu. Menurut pejabat Laos yang berbicara kepada media pemerintah China Xinhua, Beijing telah mengeksekusi 813 proyek senilai lebih dari US$ 16 miliar pada tahun lalu.
- Pakistan
Harga bahan bakar di Pakistan naik sekitar 90% sejak akhir Mei, setelah pemerintah mengakhiri subsidi bahan bakar. Ini merupakan salah satu langkah negara itu untuk melanjutkan program bailout dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Ekonomi sedang berjuang dengan kenaikan harga barang. Pada bulan Juni, tingkat inflasi tahunan mencapai 21,3%, tertinggi dalam 13 tahun. Seperti Sri Lanka dan Laos, Pakistan juga menghadapi cadangan mata uang asing yang rendah, dimana hampir setengah jumlah devisa negara itu menurun sejak Agustus tahun lalu.
Negara itu juga akhirnya memberlakukan pajak 10% pada industri skala besar selama satu tahun untuk mengumpulkan US$ 1,93 miliar demi mengurangi kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah.
"Jika mereka dapat membuka dana ini, pemberi pinjaman keuangan lainnya seperti Arab Saudi dan UEA [Uni Emirat Arab] mungkin bersedia memberikan kredit," ujar analis S&P Global Ratings, Andrew Wood.
Sekali lagi China memainkan peran di sini. Pakistan dilaporkan berutang lebih dari seperempat utangnya ke Beijing. "Pakistan tampaknya telah memperbarui fasilitas pinjaman komersial vis-a-vis China dan ini telah menambah cadangan devisa dan ada indikasi mereka akan menjangkau China untuk paruh kedua tahun ini," tambah Wood.
- Maladewa
Maladewa telah mengalami pembengkakan dalam utang publiknya di beberapa tahun terakhir. Saat ini, utang tersebut telah melampaui di atas 100% dari PDB-nya. Seperti Sri Lanka, pandemi COVID-19 menghantam negara kepulauan itu yang sangat bergantung pada pariwisata.
Negara-negara yang sangat bergantung pada pariwisata cenderung memiliki rasio utang publik yang lebih tinggi. Namun khusus Maladewa, Bank Dunia mengatakan negara itu sangat rentan terhadap kenaikan biaya bahan bakar yang lebih tinggi karena ekonominya tidak terdiversifikasi.
Bank investasi AS JPMorgan mengatakan tujuan liburan itu berisiko gagal bayar utangnya pada akhir 2023. Turis di Bandara MaladewaTuris di Bandara Maladewa
- Bangladesh
Inflasi mencapai level tertinggi 8 tahun pada bulan Mei di Bangladesh, menyentuh 7,42%. Dengan cadangan yang semakin menipis, pemerintah telah bertindak cepat untuk mengekang impor yang tidak penting, melonggarkan aturan untuk menarik pengiriman uang dari jutaan migran yang tinggal di luar negeri dan mengurangi perjalanan ke luar negeri bagi para pejabat.
"Untuk ekonomi yang mengalami defisit transaksi berjalan - seperti Bangladesh, Pakistan, dan Sri Lanka - pemerintah menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan subsidi. Pakistan dan Sri Lanka telah meminta bantuan keuangan kepada IMF dan pemerintah lainnya," terang analis S&P Global Ratings, Kim Eng Tan.
"Bangladesh harus kembali memprioritaskan pengeluaran pemerintah dan memberlakukan pembatasan aktivitas konsumen," katanya.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.