Masifnya perkembangan teknologi informasi membuat hidup jadi lebih mudah. Di sisi lain, tren kejahatan siber yang berujung pada penipuan online juga semakin tak terhindarkan.
Berdasarkan data dari Patroli Siber, ada 1.617 laporan terkait kasus penipuan online yang terjadi pada Januari-Desember 2019.
Data tersebut dihimpun berdasarkan jumlah laporan polisi yang masuk dan jumlah kasus selesai yang dilaporkan oleh Subagbinops Ditreskrimsus seluruh kepolisian daerah.
Sementara itu, kasus kejahatan siber paling banyak terjadi di platform Instagram dengan 534 laporan, WhatsApp 413 laporan dan Facebook 304 laporan. Sisanya, dilakukan melalui telepon/sms, Twitter dan lain-lain, melansir Liputan6.com.
Modus penipuan online
Ketua Lembaga Riset Keamanan Cyber dan Komunikasi Pratama D. Persada mengatakan, para pelaku kejahatan siber memang kerap membangun akun Instagram dan Fan Page untuk melakukan penipuan.
“Para penipu hanya membuka toko fiktif, membeli followers yang banyak dan melakukan likes dengan robot sehingga terlihat meyakinkan,” kata Pratama kepada Liputan6.com.
Selain itu, tambah Pratama, para penipu juga tidak ragu untuk membuka landing pages pada web tertentu serta membuat chatbot di WhatsApp.
Ia mengungkapkan, ada dua jenis penipuan online yang kerap dilakukan oleh kejahatan siber. “Pertama, setelah pembeli transfer uang ke penipu, barang tidak akan di kirim,” jelasnya.
Yang kedua, barang yang dikirim tidak dari spesifikasi awal, entah itu barang palsu atau tidak sesuai nilai yang ditawarkan.
Semantara itu, Pakar Media Sosial Enda Nasution mengatakan, modus rekayasa sosial yang berujung pada penipuan online marak terjadi karena lebih mudah dilakukan.
“Penipu bisa melakukan penipuan ke banyak orang, tidak hanya satu orang,” terang Enda.
Alasan lain yang membuat kasus kejahatan siber berbasis penipuan online shop di media sosial semakin tak terhindarkan karena risiko bagi penipu untuk tertangkap, lebih kecil daripada saat bertemu langsung dengan calon korban.