Djawanews.com—Semua orang pasti mengingat peristiwa pada tanggal 9 Juli 2006. Ada tambahan waktu 30 menit dari final piala dunia yang diselenggarakan di Jerman waktu itu. Perhatian para penonton tertuju pada seorang pemain yang menyundurkan kepalanya kepada pemain lain.
Awalnya semua orang mengira itu David Trezeguet, namun tayangan ulang mengagetkan semua orang. Itu adalah Zinedine Zidane yang menyundurkan kepalanya ke Matarazzi. Wasit pun memberikan kartu merah untuk Zinedine Zidane dan itu menjadi hari terakhir Zidane sebagai pemain sepakbola.
Seluruh dunia tercengang dan tidak menyangka akan apa yang dilakukan Zinedine Zidane. Namun itulah yang terjadi. Hari itu mengajarkan kepada semua orang bahwa betapa sedikit yang kita mengerti dari pemain sepak bola. Bagaimana pun seorang pemain sepak bola adalah manusia juga. Dan di sini Zinedine Zidane, orang yang tidak akan melakukan hal yang konyol.
Menjawab Alasan Kenapa Zidane Melakukan Kekerasan di Piala Dunia 2006
Zinedine Zidane adalah seorang pemain jenius dengan penampilan cemerlang yang tiada tara. Terlahir dari orang tua Aljazair di Marseille pada 23 Juni 1972, pengasuhan Zidane adalah gabungan dua budaya. Menanamkan etos kerja keras dan ketekunan oleh ayahnya sangat penting bagi putra imigran untuk bertahan hidup di pinggiran La Castellane yang terkenal di Marseille.
Tindakan Zidane di piala dunia Jerman 2006 bukanlah yang pertama. Ia pernah dihukum selama minggu-minggu pertama karir karena meninju lawan yang telah mengejek asal-usul ghetto-nya. Dan beberapa tahun kemudian pada tahun 2000, saat bermain untuk Juventus melawan Hamburg di Liga Champions, ia akan menyebabkan timnya tersingkir dari babak grup setelah dikeluarkan dari lapangan karena melakukan headbutting ke Jochen Kientz.
Masa paling gemilang bagi sepak bola Prancis yakni Piala Dunia 1998. Dilaksanakan di tanahnya sendiri semua orang menjadi saksi akan semangat muda dan pengalaman mapan yang membawa Prancis menjadi juara dunia. Zidane mencatak dua gol di final namun di sini pun ia masih memperlihatkan kemarahannya seperti sebelumnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Didorong oleh Jean-Marie Le Pen, yang saat itu pemimpin Front Nasional, muncul pertanyaan tentang sifat warisan Aljazair Zidane. Ada beberapa mengklaim ayah Zidane sebagai Harki—sekelompok orang Aljazair yang berpihak pada Prancis selama Perang Sipil Aljazair dan kemudian dipandang sebagai pengkhianat di tanah air mereka.
Penolakan Zidane di depan umum tentang hal tersebut adalah diskusi yang jarang terjadi tentang kehidupan pribadinya. Ketika semua potongan-potongan teka-teki ini disatukan, kita dapat mulai memahami apa yang terjadi di Paris pada tahun 2006. Pelecehan yang menjadi alasan utamanya, tanggung jawab etnis dan ras yang diharapkan untuk diembannya dan penolakan yang dideritanya.
Semua menjadi masuk akal. Dengan semua beban di pundaknya, dalam pertandingan terakhirnya di final Piala Dunia, provokasi sekecil apa pun yang menusuk pada agresi mikro bertahun-tahun bisa sangat cukup untuk mengirim siapa pun melakukan hal yang sama.
“Jika Anda melihat empat belas kartu merah yang saya miliki, dua belas di antaranya adalah hasil dari provokasi. Ini bukanlah pembenaran, ini bukan alasan, hasrat, emosi, dan darah saya membuat saya bereaksi. Dalam hidup saya, saya selalu berusaha bersikap lunak dengan orang lain. Saya telah berusaha untuk tidak marah atau terprovokasi. Jadi ketika saya terprovokasi efeknya dua kali lipat. Itu memicu. Lalu meledak,” jelas Zidane dalam sebuah konferensi di tahun 2015.
Ikuti juga berita-berita terbaru dan menarik lainnya yang disediakan Djawanews untuk menemani harimu di sini.