Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid akrab disapa Yenny Wahid merupakan putri dari Mantan Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Alm).
Aktivis kemanusiaan ini lahir pada 29 Oktober 1974 di Jombang. Yenny adalah anak kedua dari pasangan Gus Dur dan Sinta Nuriyah. Ia mempunyai seorang kakak bernama Alisa Wahid dan dua orang adik yakni Anita Wahid dan Inayah Wahid.
Perjalanan Yenny Wahid sebagai putri kyai
Meski terlahir dari kalangan keluarga pesantren, Yenny justru berbeda dengan kebanyakan anak-anak kyai lainnya. Ia lebih memilih bersekolah bukan di lembaga pesantren.
Ia tercatat pernah menempuh pendidikan di SMA Negeri 28 Jakarta dan lulus pada 1992. Setelah itu, Ia melanjutkan studi di Universitas Trisakti, Jakarta dengan Jurusan Komunikasi Visual.
Yenny pernah menjadi koresponden di Koran The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourn) pada tahun 1997-1999. Dua Koran tersebut merupakan terbitan Australia.
Pada periode itu, Yenny ditugaskan sebagai responden di Timor-Timur (sekarang Timor Leste). Ia merupakan sosok reporter yang tangguh dan tahan banting di dua daerah konflik tersebut.
Melansir Merdeka, Yenny pernah mendapatkan perlakuan kasar dari milisi saat kembali ke Jakarta pasca bertugas di Timo-Timur. Namun seminggu kemudian, ia memutuskan kembali ke kawasan tersebut.
Laporannya mengenai Timor-Timur pasca referendum mendapatkan penghargaan Walkley Award.
Tiga tahun menggeluti dunia jurnalistik, Yenny memutuskan mundur sebab ayahnya terpilih menjadi presiden RI ke-4 pada tahun 1999.
Di tahun yang sama, Yenny ditunjuk sebagai Staf Khusus Kepresidenan Bidang Komunikasi Politik. Oleh karenanya, tidak heran jika ia selalu mengikuti langkah Gus Dur dan selalu berusaha mendampingi ayahnya.
Jabatan itu ia emban sampai mandat sang ayah sebagai Presiden dicabut oleh MPR pada 2001 dan digantikan oleh Megawati Soekarno Putri.
Pasca Gusdur tidak lagi menjabat sebagai Presiden, Yenny memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Harvard Kennedy School of Government dengan jurusan Public Administration dan berhasil meraih gelar Masters.
Mengutip Republika, saat kuliah di Harvard, cakrawala pemikirannya semakin berkembang. Di sanalah ia merasakan kehidupan sebagai seorang minoritas muslim.
Pengalamannya hidup sebagai minoritas di luar negeri membuatnya mengerti rasanya diperlakukan secara tidak enak, serta sangat berkesan jikalau diperlakukan dengan nyaman.
“Dari sana pemikiran toleransi itu mengental,” kata Yenny kepada Republika.
Selepas menempu studi di Harvard, ia kemudian mendirikan The Wahid Institute pada 2004, yang kini berubah menjadi The Wahid Foundation.
Yayasan ini terlahir karena keinginan Yenny untuk menjembatani perbedaan di Indonesia. Sejak awal berdiri The Wahid Foundation telah sering menggelar berbagai diskusi tentang pluralisme dengan mengundang para cendekiawan.
Upaya Yenny Wahid membangun masyarakat madani
Statusnya sebagai seorang putri dari ulama besar KH Abdurrahman Wahid membuat Yenny selalu bersinggungan dengan beragam pemikiran dari berbagai latar belakang agama dan budaya.
Saat masih kecil, ia sudah mempelajari nilai-nilai keislaman dan kebudayaan Jawa, baik secara teori maupun praktik. Pelajaran ini pula yang menjadi bekal bagi Yenny untuk melangkah keluar, Mengutip Republika.
“Ini semua sangat membentuk watak kami yang inklusif, menerima bahwa semua orang berhak untuk mempercayai kebenaran masing-masing. Tanpa memaksa orang tersebut mengikuti jalan kebenaran kita,” ungkap Yenny, dilansir dari Republika.
Tatkala isu Islamofobia semakin berkembang akibat tragedi 11 September yang menghancurkan gedung WTC di Amerika Serikat, banyak orang yang selalu membentur-benturkan antara islam dengan barat atau agama dengan budaya.
Untuk meredam hal tersebut, Yenny kemudian membuat gerakan kultural khas Indonesia yang berbasis Pancasila
“Kita melawan itu dengan gerakan kultural khas Indonesia, yaitu kearifan di sini yang berbasis pada Pancasila,” katanya.
Ia berpendapat, Pancasila harus menjadi dasar toleransi dan sikap moderasi keagamaan, yang telah menjadi khas dan kearifan bangsa Indonesia.
Semangat toleransi yang diusung Yenny disebarkan lebih luas lagi kepada masyarakat, bukan saja melalui diskusi dan tulisan namun juga dengan gerakan praksis melalui program Desa Damai alias Peace Village.
Dalam program tersebut, Ia menerapkan berbagai macam pendekatan untuk menanamkan sikap toleransi seperti transfer nilai, penguatan ekonomi, pemberdayaan perempuan hingga penguatan nilai-nilai aparatur negara di tingkat lokal.
Ia menilai, program ini sangat penting karena persoalan-persoalan mendasar, seperti keadilan dan kesejahteraan harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengajak masyarakat berdikusi.
Melalui Desa Damai, Ia memberikan akses permodalan kepada ibu-ibu dari berbagai budaya dan agama di desa-desa agar ekonomi mereka semakin menguat. Harapannya untuk membangun dialog dikalangan mereka sendiri.
Dengan begitu, persamaan persepsi, kerukunan, kebersamaan dan kerjasama akan terjalin di masyarakat tersebut.
Saat ada kerja sama di sektor ekonomi, rasa kepemilikan akan tumbuh sehingga usaha yang mereka jalankan akan semakin maju, pendapatan akan bertambah dan kesejahteraan akan meningkat. Sehingga kehidupan sehari-hari menjadi lebih bahagia. Bersama Wahid Foundation, Yenny berusaha membangun masyarakat masyarakat madani yang dapat hidup saling berdampingan dalam keberagaman.