Djawanews.com – Hanya ada dua orang penulis fiksi paling berpengaruh pasca kemerdekaan menurut peneliti Benedict Richard O’Gorman Anderson. Mereka adalah Putu Wijaya dan Iwan Martua Dongan Simatupang atau yang populer dikenal sebagai Iwan Simatupang.
Nama yang terakhir disebutkan meninggal pada 4 Agustus 1970 silam. Seumur hidupnya ia dikenal sebagai fiksionis, penyair dan penulis esai.
Jalan kepenulisan Iwan Simatupang
Sejatinya, kecintaan Iwan Simatupang pada dunia tulisan berawal dari kesenangannya menulis sajak. Seiring waktu, ia juga menulis esai, cerita pendek, drama, novel dan roman.
Sebagai penulis, Iwan Simatupang cukup produktif dan menjadi langganan berbagai penghargaan di bidang kepenulisan. Karya novelnya yang terkenal, Merahnya Merah (1968) diganjar hadiah sastra Nasional 1970. Sementara Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977.
Penulis kelahiran Sibolga, 18 Januari 1928 itu kemudian menerbitkan novel ketiganya Kering pada tahun 1972 dan Kooong pada tahun 1975 yang mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Department P Dan K di tahun yang sama.
Sebelum karya fiksinya dikenal khalayak, pada tahun 1963, Iwan Simatupang mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air.
Selain aktif sebagai penulis, Iwan Simatupang yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Leiden dan Universitas Sorbonne sempat menjalani berbagai pekerjaan. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian periode 1966-1970.
Tak hanya menerbitkan buku, tulisan-tulisan Iwan Simatupang juga berserakan di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.