Di era 1970-an, kebebasan pers mendapat tekanan serius terutama dari kalangan militer. Mereka mengekang pers agar tidak memberitakan tentang masalah kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintahan Soeharto.
Saat itu, rezim Orde Baru memandang pers tak lebih dari sedar institusi politik yang harus diatur seperti organisasi massa dan partai politik.
Mereka menilai, media massa harus mendukung segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa. Oleh karenanya, Soeharto selaku presiden saat itu menggunakan pers sebagai alat kontrol sosial untuk mengatur hubungan individu dengan serta masyarakat.
Pembredelan Surat Kabar, Dalih untuk Menjaga Stabilitas Nasional
Sikap pemerintah yang anti kritik, membuat para wartawan melakukan strategi yang cerdik dalam metode penulisan berita. Hal ini dilakukan agar tulisan yang siap diterbitkan tidak menjadi ‘senjata makan tuan’di kemudian hari.
Para wartawan sadar, kantor berita mereka bisa dibredel kapan saja oleh pemerintah jika menuliskan berita yang terlalu sensitif.
Pada 1971, pemerintah Orde Baru mengembargo media massa Harian Kami dan Duta Masyarakat terkait liputan mereka tetang pemilu 1971.
Hal serupa lebih dulu dialami oleh harian Sinar Harapan. Rezim Orde Baru melarang mereka menerbitkan surat kabar karena meliput kasus korupsi di pemerintahan.
Kebijakan pelarangan penerbitan surat kabar terhadap tiga media massa ini dilakukan pemerintah dengan dalih untuk menjaga stabilitas nasional.
Di tahun 1973, militer semakin berusaha mencengkram kebebasan pers nasional. Strateginya yakni mengontol PWI dengan menjadikan Harmoko, mantan wartawan di Harian Angkatan Bersenjata, sebagai ketua.
Strategi militer ini berhasil, dalam kongres PWI ke-15 yang diadakan di Tretes, Harmoko terpilih sebagai ketua umum.
Berawal dari Peristiwa Malari
Langkah pemerintah yang terus menerus menekan pers akhirnya pecah saat peristiwa Malari pada 1974.
Mulanya, sejumlah media mewartakan kebijakan pemerintah dalam hal penanaman modal asing. Seperti biasanya, ada yang bersikap pro dan kontra.
Sejumlah pihak menilai, kerjasama ekonomi yang dilakukan Soeharto akan memberikan dampak yang buruk bagi negara.
Saat PM Jepang Kakuei Tanaka menginjakkan kakinya di Tanah Air, masyarakat dan mahasiswa secara kompak turun ke jalan untuk melampiaskan kekecewaan mereka. Massa berdemo di seantero kota untuk mendeklarasikan ketidakpuasannya atas modal asing terutama yang diinvestasikan Jepang.
Situasi semakin kacau saat mahasiswa mulai disusupi gelombang perusuh. Para perusuh ini mulai melakukan penjarahan dan pembakaran. Selain itu, mereka juga merusak sejumlah fasilitas publik.
Pada hari kedua demonstrasi, tentara mendapat mandat untuk menembak para penjarah yang berujung pada tewasnya 11 orang dan ratusan lainnya terluka parah.
Surat kabar sebagaimana tugasnya sangat bersemangat mewartakan kerusuhan tersebut. Oleh media massa, peristiwa itu dijuluki dengan ‘Malapetaka Januari’ (Malari).
Liputan media massa tentang peristiwa Malari dianggap sangat merugikan pemerintah. Buntut dari pemberitaan itu yakni dicabutnya surat izin terbit harian ‘Nusantara’ melalui SK Menpen No.015/DR/Ditjen PPG/1974, tertanggal 16 Januari 1974.
Nasib yang sama juga menimpa Suluh Berita dan Indonesia Pos. Mereka dilarang terbit terkait pemberitaan Malari.
Dua surat kabar ini dibredel karena dianggap melanggar TAP MPR No.IV/MPR/1973 dan UU No. 11/1966.
Korban Malari akhirnya semakin meluas dan menjadi akhir bagi kebebasan pers di Indonesia.
Lalu, pada 20 Januari 1978, tepat pada hari ini 42 tahun yang lalu, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto melarang penerbitan tujuh surat kabar antara lain Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita, Pos Sore, Indonesia Times dan Sinar Pagi.
Alasannya, tujuh surat kabar ini dianggap melakukan pemberitaan dengan unsur hasutan dan dapat menganggu stabilitas nasional.