Djawanews.com – Kabupaten Grobokan memperingati hari jadinya setiap 4 Maret. Hal ini didasarkan pada hari berdirinya kabupaten tersebut yang terjadi pada zaman kerajaan Demak.
Secara administrasi, berdirinya Grobogan dimulai pada hari Senin Kliwon 21 Jumadilakir 1650 atau 4 Maret 1726. Saat itu Sri Susuhunan Amangkurat IV mengangkat seorang abdi—yang dalam website grobogan.go.id dikatakan—berjasa kepada Sunan.
Belum begitu jelas jasa apa yang dimaksud dan Sunan yang mana. Namun, berdasarkan cerita rakyat ada 3 Sunan yang sempat bersinggungan dengan wilayah ini, yakni Sunan Ngundung, Sunan Kudus, dan Sunan Kalijaga.
Grobogan dalam Sejarah Kekuasaan
Dalam Babad Pecina dikatakan bahwa abdi yang diangkat Amangkurat IV bernama Ng. Wongsodipo. Ia diangkat menjadi Bupati Monconegari Grobogan dengan nama RT Martopuro. RT Martopuro menguasai beberapa wilayah yakni Sela, Teras, Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian Utara Bengawan Solo. (172-174).
Di saat yang bersamaan, kota Kartasura disebut sedang mengalami kekacauan. Untuk itu Rt. Martopuro meminta kepada kemenakan sekaligus menantunya, Rt. Suryonagoro, untuk memerintah beberapa wilayah dan menjadikan Grobogan sebagai ibu kota.
Meski sempat menjadi ibu kota, pusat kekuasaan kemudian berpindah ke Purwodadi hingga sekarang. Dalam sebuah artikel yang dinggah di ayosemarang.com, Juru Kunci Makam Adipati Martopuro, Muhammad Ismail (78), mengatakan bahwa pusat pemerintahan pindah pada masa Bupati Adipati Martonagoro. Diketahui ia menjabat pada 1840-1864.
Perpindahan kekuasaan tersebut ditandai dengan adanya surat Adhel dan Angger Nagari atau Angger Gunung. Surat itu berisi perintah kepada Bupati untuk memindahkan pusat pemerintahan.
Sejarah Nama Grobogan
Grobogan menyimpan sejarah yang menarik. Pasalnya, hingga sekarang banyak versi yang menceritakan bagaimana awal mula terciptanya nama Grobogan.
Grobogan diartikan sebagai kotak yang biasanya digunakan sebagai peti kemas, mulai dari senjata hingga binatang buas. Berdasarkan cerita rakyat, nama Gerobogan diambil dari kotak yang berisi senjata peninggalan Majapahit.
Dalam buku yang berjudul Legenda, Mitos, dan Sejarah 35 Kota di Jawa Tengah (2015), Hadi Prayitno menceritakan bahwa setelah Prabu Kertabumi Brawijaya V meninggal, Raden Patah bertitah untuk menyerang Majapahit. Saat itu pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Kudus dan Sunan Ngundung.
Pertempuran yang berlangsung selama berhari-hari itu akhirnya dimenangkan oleh Demak. Sebagaimana pemenang dalam pertempuran, Sunan Ngundung mengambil pusaka Kerajaan Majapahit. Ia mengumpulkan semua senjata dan memasukkannya ke dalam grobog untuk dibawa ke Demak.
Prajurit memang sempat membawa grobog itu. Namun setelah pasukan berjalan beberapa saat, mereka menyadari bahwa grobog yang berisi senjata peninggalan Majapahit tertinggal di wilayah yang telah mereka lewati.
Prajurit kembali menyisir jalan dan menemukan grobok itu. Sunan Ngundung kemudian menamakan tempat tertinggalnya grobog itu dengan nama Grobogan.
Grobogan dan Kearifan Sunan Kalijaga
Versi lain dari asal-usul Grobogan memiliki sedikit perbedaan tokoh. Dikutip dari laman balaibudaya.org, asal nama kabupaten itu dimulai saat Sunan Kalijaga membawa benda-benda warisan Prabu Brawijaya VII, Raja Majapahit.
Dalam perjalanan, rombongan Sunan Kalijaga bertemu gerombolan perampok yang bernama Bango Mampang. Ia adalah perampok yang menguasai Pegunungan Kendeng bagian barat. Para perompak kemudian meminta grobog yang dibawa oleh Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga melakukan negosiasi dengan perompak dan menyepakati agar Bango Mampang memilih satu grobog saja. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, mereka memilih satu grobog terberat dan membawanya pergi.
Setelah keduanya berpisah, Bango Mampang ternyata mendapati grobog yang mereka bawa kosong. Merasa dipermainkan mereka langsung mencari rombongan Sunan Kalijaga untuk meminta grobog lain.
Saat kembali bertemu Sunan Kalijaga, Bango Mampang memilih salah satu grobog. Kali ini mereka tak kuasa mengangkat grobog yang mereka pilih. Merasa dipermainkan, ia menyerang Sunan Kalijaga dengan segala kemampuannya.
Kesaktian Sunan Kalijaga tentu mampu membendung kekuatan Bango Mampang. Bahkan, perompak itu tak mampu lagi menandingi. Akhirnya, keduanya bersepakat damai dan membiarkan gerombolan Sunan melanjutkan perjalanan.
Tatkala sampai di Demak Bintoro, anak buah Sunan Kalijaga mengingat jika salah satu grobog mereka tertinggal di daerah Kendeng itu. Saat prajurit akan mengambilnya, Sunan Kalijaga meminta agar membiarkan kotak itu di tempatnya. Untuk mengingat peristiwa itu lahirlah nama Grobogan.
Grobogan sebagai Wilayah Perburuan
Tak berhenti dari kisah 3 Sunan, jika merujuk pada laman grobogan.go.id grobog diartikan sebagai kandang pengangkut binatang buruan atau bisa juga diartikan sebagai alat penangkap harimau. Grobogan sendiri diketahui sempat menjadi daerah perburuan Sultan Demak, bahkan dikatakan pual menjadi daerah persembunyian para bandit dan penyamun pada zaman Kerajaan Demak Pajang.