Mengenang Ersa Siregar, reporter senior RCTI yang tertembak dalam pertempuran antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesai (TNI).
Dua tahun sebelum dilakukan perjanjian genjatan senjata antara GAM dan TNI, pelanggaran HAM menimpa seorang jurnalis Ersa Siregar. GAM dan TNI adalah yang dinilai paling bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Ersa Siregar Disandera 6 Bulan
Sebelum tertembak, Ersa Siregar terlabih dahulu disandera oleh pasukan GAM pada 29 Juni 2003, setelah mobil yang ditumpanginya dihadang kelompok bersenjata. Dirinya disandera bersama Ferry Santoso (kameramen RCTI), Rahmatsyah (sopir), Safrida, dan Soraya (warga sipil) dalam perjalanan dari Langsa menuju Lhokseumawe.
Setelah tiga hari dinyatakan hilang, pihak RCTI setelah melakukan penelusuran baru mengetahui jika Ersa dan Ferry disandera kelompok GAM yang dipimpin oleh Ishak Daud.
Dilansir dari Tirto.id, melalui buku yang ditulis Ferry tahun 2006 dengan judul Antara Hidup dan Mati: 325 Hari Bersama GAM, dirinya menjelaskan secara rinci penyanderaan yang dialaminya.
Bersama sandra lainnya, Ferry menuliskan jika mereka tidak mengetahui lokasi tempat mereka diculik. Selain itu lokasi selalu berpindah-pindah dan mata mereka selalu ditutup.
Mendapat Perlakuan Baik
Meskipun menjadi sandera, Safrida juga menyatakan jika dirinya mendapatkan perlakuan baik. Hal itu ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul Catatan Harian Sandera GAM: Kisah Nyata Safrida dan Soraya. Safrida juga menulis jika Ishak Daud merupakan sosok panglima yang tenang dan juga sopan.
Kendati demikian, sesaat setelah ditangkap Safri dan dan adiknya Soraya sempat diinterogasi oleh pasukan GAM. Di sebuah gubuk di tengah sawah mereka diintrogasi, dan sempat dicurigai sebagai mata-mata.
Berdasarkan arsip Gatra, Rahmatsyah juga menuturkan jika perlakukan baik yang diterima oleh para sandera. Dirinya mengungkapkan jika rutin diberi makan dan apabila ada tawanan yang sakit segera mendapat perlakuaan medis dengan cepat. Pada 17 Desember 2003 dirinya adalah tawanan pertama yang dibebaskan.
Proses Negosiasi yang Tidak Lancar
Seminggu setelah menculik, Ishak juga mengadakan konferensi pers dengan pihak RCTI untuk memberitahu jika keadaan tawanan dalam kondisi sehat dan diperlakukan dengan baik.
Namun hingga Desember 2003 para sandera tidak mendapatkan kepastian apakah akan dibebaskan atau tidak. Tirto, menuliskan jika pada tanggal 27 Desember 2019, Ishak sudah mau membebaskan namun harus memenuhi syarat.
Adapun syarat yang diinginkan oleh Ishak yaitu agar TNI menyetujui gencatan senjata yang dilakukan selama dua hari di lokasi pembebasan tawanan. Namun TNI tidak menyetujuai syarat tersebut, dan meminta para tawanan untuk diletakkan di satu tempat, lalu dijemput.
Hingga pada tanggal 29 Desember 2019 belum ada kesepakatan antara pihak GAM dan TNI. Sementara itu GAM masih bersikeras untuk menyerahkan para tawanan secara langsung. Kemudian siang harinya, terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI. Ersa Siregar yang berada di lokasi (di Desa Kuala Manihan, Simpang Ulim, Aceh Timur) tertembak dua peluru TNI yang menembus leber dan dadanya.