Djawanews.com – Hari ini Kabupaten Purworejo merayakan ulang tahunnya yang ke-189 tahun. Penetapan tanggal 27 Februari sebagai hari jadi dilakukan belum lama. Pasalnya, sebelum 2019, Purworejo merayakan hari jadinya setiap 5 Oktober.
Jika hari jadi merujuk pada 5 Oktober, umur kabupaten ini menginjak angka ribuan tahun. Berbeda jika penetapan diambil pada 27 Februari, yang justru diketahui umur Purworejo berusia ratusan tahun.
Perubahan penetapan hari jadi Purworejo dilakukan bukan tanpa alasan. Hampir setiap tahun sejumlah kalangan sejarawan, budayawan, politisi, akademisi, dan sebagian masyarakat mempertanyakan validitas hari jadi Purworejo. Pertanyaan ini juga menjadi polemik di daerah tersebut.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Purworejo
Periode yang dijadikan landasan Pemkab untuk menentukan hari jadi Purworejo awalnya didasarkan pada informasi dalam Prasasti Kayu Ara Hiwang. Merujuk pada website resmi Kabupaten Purworejo, prasasti tersebut ditemukan di Desa Boro Wetan, Kecamatan Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah.
Prasasti ini berangka 5 Paro Gelap, hari Senin Warukung, bulan Asuji tahun 823 Saka atau 5 Oktober 901 Masehi. Memang dalam prasasti disebutkan bahwa tanggal 5 Oktober 901 masehi pernah diadakan sebuah upacara besar yang dihadiri oleh pejabat kerajaan dari berbagai daerah.
Upacara tersebut dilakukan dalam rangka penetapan atau pembatasan tanah di wanua (desa) Kayu Ara Hiwang. Penetapan dilakukan oleh Rake Wanua Poh Dyah Sala dengan tujuan untuk membangun sima bagi sebuah bangunan suci (parhyang). Namun, para peneliti tak menemukan istilah atau hal lain yang merujuk pada kata ‘Purworejo’.
Jika merujuk pada prasasti Kayu Ara Hiwang, tahun 2020 ini seharusnya Purworejo memperingati hari jadi ke-1.119. Namun, kajian terbaru menunjukkan bahwa Purworejo baru menginjak usia ke-189.
Pergantian hari jadi Purworejo terbaru didasarkan pada kajian yang dilakukan oleh ahli sejarah dari UGM, USM, Purworejo, hingga dari Inggris. Mereka melakukan penelitian sejarah Purworejo yang diambil dari berbagai sumber, terutama berdasarkan Babad Kedung Kebo dan Babad Mataram.
Sejarah Purworejo
Berawal dari tanggal 28 Maret 1830 atau tepatnya setelah Perang Jawa (Java Orloog) berakhir, Pemerintah Hindia Belanda meminta kepada Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta untuk membayar ganti rugi perang.
Tuntutan Belanda membuat Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta terpaksa menyerahkan tanah Bagelen (nama Purworejo di zaman dulu) dan Banyumas. Penyerahan dilakukan pada 22 Juni 1830 melalui sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh pihak Belanda dan Keraton Surakarta.
Dalam perjanjian tersebut dikatakan bahwa wilayah Bagelen, Banyumas, dan pejabat terkait akan berada di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, di dalam perjanjian juga mengangkat lima pejabat daerah, salah satunya diangkatnya KRT Tjakradjaja sebagai Tumenggung pada tahun 1828.
Meski dalam perjanjian KRT Tjakradjaja diangkat sebagai Tumenggung, pada 27 Februari 1831 Raja Surakarta menetapkan KRT Tjakradjaja sebagai bupati sekaligus menyandang nama Raden Adipati Aryo Cokronegoro. Nama Purworejo sendiri muncul saat Raden Adipati Aryo Cokronegoro dilantik menjadi bupati. Pergantian nama diumumkan oleh petugas dari Pemerintah Hindia Belanda yakni Komisaris PH van Lawick van Pabst.