Tanggal 29 Januari merupakan hari wafatnya panglima besar pertama Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Sudirman. Duka mendalam dari seluruh rakyat Indonesia mengiringi jenazah sang jenderal menuju peristirahatannya yang terakhir di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Yogyakarta.
Memulai karirnya sebagai seorang tentara melalui PETA (Pembela Tanah Air), Pak Dirman begitu sapaan akrabnya telah berjasa besar kepada kedaulatan negara republik Indonesia.
Ketika kemerdekaan Indonesia yang masih simpang siur karena ketidakkonsistenan Belanda, dalam keadaan sakit keras Sudirman ditandu para prajurit setianya tetap melakukan perlawanan gerilya.
Perlawanan dalam perjalanan panjang hampir ke seluruh tanah Jawa selesai ketika pada akhirnya Indonesia benar-benar terbebas dari belenggu Belanda pada 27 Desember 1949.
Ramalan Masa Depan Sang Jenderal dari Seorang Tambi
“Orang yang ingin memberi perintah lebih dahulu harus mau diperintah.”
Sudirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati, Rembang Jawa Tengah, dari orang tua Karsid Kartawiraji dan Siyem. Lahir sebagai rakyat biasa dengan penghidupan memperihatinkan di mana bapaknya bekerja di sebuah pabrik gula, Sudirman diangkat anak oleh suami dari saudari ibunya yakni Cokrosunaryo.
Cokrosunaryo sendiri merupakan seorang wedana pemerintah Hindia Belanda. Cokrosunaryo yang kemudian membiayai sekolah dan memberikan gelar ‘raden’ kepada Sudirman.
Selama masa sekolah Sudirman terkenal rajin dan pandai. Selain pelajaran kaligrapi ia cakap di semua mata pelajaran termasuk matematika. Ia juga aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler terutama kepanduan dan inilah yang memberikan pondasi baginya kelak untuk memberikan jasa terbesarnya kepada Indonesia.
Sudirman juga sangat aktif berorganisasi. Besar sebagai seorang muhammadiyah, Sudirman pernah menduduki pimpinan Hizbul Wathan, kepanduan Muhammadiyah daerah Banyumas. Selain itu, dia juga dipercaya menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah cabang Banyumas, kemudian Jawa Tengah.
Setelah berkeluarga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya Sudirman mengajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Muhammadiyah di Cilacap. Sebagai guru, ia mendapat gaji sebesar f.3 (tiga gulden Belanda) per bulan, sebuah angka yang sangat kecil. Bagi Pak Dirman menjadi guru bukan untuk mencari penghidupan tetapi merupakan sebuah pengabdian. Ia bisa saja mencari pekerjaan lain dengan gaji yang lebih besar, mengingat kepopulerannya sebagai pimpinan Pemuda Muhammadiyah.
Sebagai seorang guru Sudirman tidak memiliki ijazah guru, ia hanya lulusan sekolah menengah pertama. Untuk mengatasi hal tersebut, Sudirman tidak malu untuk meminta bimbingan guru-guru senior. Walhasil, Sudirman memang berbakat sebagai seorang guru, selain disukai oleh murid-muridnya, Soedirman dipercaya menjadi kepala sekolah HIS Muhammadiyah. Gaji Sudirman pun naik menjadi f.25,50 yang mencukupi kebutuhan harian keluarganya.
Ada cerita menarik ketika Sudirman menjadi seorang guru. Cerita ini dikisahkan langsung oleh beliau kepada pimpinan Muhammadiyah Cilacap saat itu yakni R. Mokh. Kholil. Sudiman sedang mengajar, ketika ia didatangi seorang Tambi (orang Keling dari Bombay). Setelah becakap-cakap, orang beragama Hindu itu melihat telapak tangan Soedirman dan berkata: “kelak engkau menjadi orang yang besar, tabahlah.”
Ketika itu, Sudirman menanggapi ramalan itu dengan sikap biasa saja. Dan ketika pada akhirnya ia menjadi seorang panglima besar, ia mengatakan bahwa itu merupakan ramalan yang terjadi.
Strategi Supit Udang Panglima Besar Pertama TNI
“Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga.”
Ketika Jepang mulai menduduki tanah air, Sudirman terpaksa meninggalkan profesinya sebagai seorang guru. Ia merasa terpanggil untuk menyerah segenap tumpah darahnya untuk kemerdekaan Indonesia.
Sudirman memulai karir ketentaraannya dengan menjadi prajurit PETA. Setelah menjalani pelatihan di Bogor, ia diangkat sebagai komandan di Kroya, Banyumas.
Sudirman mulai dikenal publik karena jasanya pada peristiwa Ambarawa 12-15 Desember 1945. Peristiwa Ambarawa yakni perlawanan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dipimpin Sudirman melawan pasukan sekutu. Peristiwa ini sangat penting dalam sejarah militer Indonesia, karena merupakan kemenangan pertama pasca kemerdekaan yang meniupkan ruh nasionalisme dan patriotism.
Kemenangan di Ambarawa tidak lain karena kecerdikan Sudirman mengatur stategi yang dikenal dengan strategi ‘Supit Udang’. Dinamakan demikian karena strategi tersebut menyerang dan memojokkan lawan dari segara arah seperti halnya seekor udang menjepit mangsanya.
Pasukan Sudirman memukul dari arah Selatan dan Barat ke arah Timur menuju Semarang. Gerakan tersebut diikuti dengan gerakan penjepitan dari kanan dan kiri dan selanjutnya bertemu di bagian luar Ambarawa ke arah Semarang.
Sudirman kemudian dikukuhkan menjadi Panglima Besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945. TKR inilah yang kemudian menjadi cikal bakal TNI. Dengan demikian Jenderal Sudirman merupakan Panglima Besar pertama TNI.
Kematian Sang Jenderal Pasukan Gerilya
“Percaya dan yakinlah bahwa kemerdekaan satu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa, harta benda dari rakyat dan bangsanya tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia, siapa pun juga.”
_Sudirman
Salah satu yang paling terkenal dari Sudirman yakni perang gerilya yang ia lakukan. Menjadi orang kepercayaan Sukarno, dalam keadaan sakit keras ia ditandu prajurit setianya menempuh jarak ratusan kilometer untuk menyusun strategi perang terbaiknya untuk Belanda dan sekutu.
Perang gerilya yang dilakukan Sudirman membuat Belanda kehilangan akal untuk menghadapi Indonesia. Perang gerilya ini pun disambut baik oleh banyak warga di Indonesia. Tanpa perang ini, nasib Indonesia mungkin masih berada di ujung tanduk.
Saat bergerilya, Jenderal Sudirman mengalami sakit yang cukup parah. Ia mengidap TBC yang membuat paru-parunya menjadi rusak. Tanpa memperdulikan penyakitnya ia tetap berjalan menapaki hampir seluruh tanah jawa. Perjuangannya pun tidak sia-sia, pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia. Sebulan kemudian yakni pada tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Sudirman menghembuskan napas terakhir. Duka mendalam melingkupi segenap bangsa Indonesia yang dibelanya mati-matian ini. Bendera setengah tiang pun dikibarkan, penghormatan dan do’a mengiringi kepergian sang jenderal.