Hari ini, 18 Desember 2019, Kabupaten Banyuwangi tepat berusia 248 tahun. Kota yang terletak di ujung paling timur pulau Jawa ini ternyata menjadi kabupaten terluas di Jawa Timur dengan luas wilayah 5.782,50 kilometer.
Memasuki usianya yang ke 248 tahun, Banyuwangi telah dipimpin oleh 27 bupati. 13 di antaranya, menjabat pada masa penjajahan Belanda dan 14 sisanya, setelah Indonesia merdeka.
Sejarah banyuwangi tak bisa dilepaskan dari perlawanan heroik Jagapati alias Mas Rempeng, keturunan Tawangalun, raja terbesar Blambangan. Terhadap VOC atau Belanda.
Hikayat Blambangan
Blambangan sendiri merupakan kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Nama Blambangan pertama kali ditemukan dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis pada 1936 Masehi dengan kata “Balambangan”.
Menurut filolog J.L.A Brandes dalam Verslag over een Babad Balambangan (1894), kata itu diprediksi berasal dari dialek orang Osing, orang asli Banyuwangi. Melansir Tirto.
Masih dari Tirto, pendapat lain diberikan Atmosudirdjo. Menurtnya, kata Balambangan tersebut terdiri dari kata bala yang bermakna “orang” dan mbang yang berarti “Batas”. Dengan demikian, Balambangan adalah tempat bermukim orang-orang di perbatasan.
Asal tau saja, Banyuwangi merupakan daerah paling timur di Pulau Jawa. Di bagian selatan, kawasan tapal kuda ini berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, dan di bagian timur dengan Selat Bali.
Kerajaan Blambangan memiliki kuasa yang sangat besar terhadap beberapa wilayah yang saat ini terbagi menjadi Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso serta Situbondo. Namun, wilayah tersebut sering diganggu oleh kerajaan-kerajaan lain, dikutip dari Tirto.
Kerajaan Blambangan sendiri baru berdiri pada abad ke-16, dan menjadi satu-satunya kerajaan Hindu di Tanah Jawa.
Blambangan memiliki kuasa penuh atas wilayah di ujung timur Jawa. Akan tetapi, dua kekuatan besar memiliki hasrat untuk menjatuhkannya. Belanda dan Kerajaan Islam Jawa guna mewujudkan keseimbangan kekuasaan atas pulau Jawa, mengutip Historia.
Di sisi lain, kerajaan Hindu di Bali berkeinginan menjadikan Blambangan sebagai temeng Islamisasi dari Jawa.
Awal mula peperangan
Pada akhir abad ke-17, Blambangan jatuh ke tangan kerajaan Hindu (Gegel, Buleleng, dan mengwi) di Bali. Namun, hal ini tak bisa diterima begitu saja oleh VOC.
Langkah kompeni kemudian mendapatkan perlawanan sengit dari rakyat Blambangan. Salah satu yang paling sengit diberikan oleh Agong Wilis, bekas patih Blambangan pada 1767-1768.
Kendati medapat dukungan dari rakyat, perlawan Agong Wilis dan pasukannya berhasil dihadang. Ia beserta keluarga dan para pengikutnya diasingkan ke Banda.
Perjuangan Agong melawan VOC kemudian dilanjutkan oleh Jagapati alias Mas Rempeng. Saat memutuskan untuk memberontak, usia Jagapati masih sangat muda, yakni 17 tahun.
Mas Rempeng bersama para mantra kemudian mencari dukungan. Ia juga memerintahkan kepada warga desa untuk mengungsi ke desa Bayu dan menjanjikan kehidupan yang lebih layak serta terbebas dari orang Jawa dan kompeni.
Konflik antara rakyat Blambangan dengan orang Jawa sudah mengakar sedemikian kuatnya sejak VOC mendapat dukungan dari kerajaan Islam Jawa dan Madura untuk menjatuhkan Kerajaan Blambangan.
Selanjutnya, Jagapati juga mendapat bantuan dari Bali. Sebuah benteng yang kokoh dibangun mengelilingi desa. Setelah Pasukan dan persenjataan dirasa cukup, Jagapati bersiap melancarkan serangan terhadap orang-orang kulit putih beserta antek-anteknya.
Langkah yang dilakukan Jagapati ternyata membuat takut para penguasa kerajaan Blambangan. Mereka kemudian mengirim surat kepada Jagapati agar bersedia menyerah tanpa serangan, dikutip dari Historia.
Saat permintaan itu dituruti oleh Jagapati, Bupati Blambangan beserta prajuritnya justru menyerang Bayu pada 1771. Akan tetapi serangan itu berhasil dipatahkan oleh Jagapati.
Benteng Jagapati yang terlalu kokoh membuat kompeni bertindak. Belanda kemudian mendatangkan balabantuan dari Madura dan Surabaya.
Lalu, pada 14 Desember, pecahlah peperangan besar di Susukan dan Songgon. Pertempuran tersebut berhasil menewaskan Letnan Reigers dan Melukai komandan ekspedisi, Letnan Heinrich.
Empat hari berselang, tepatnya pada 18 Desember 1771, Jagapati berserta prajuritnya menyerang Belanda di Songgon.
Untuk kesekian kalinya, serdadu kulit putih beserta antek-anteknya luluh lantak oleh pasukan Bayu. Bahkan pengganti Letnan Reigers, Vaandrig Van Schaar juga ikut tewas.
Pertempuran pucak pada 18 Desember 1771 antara Jagapati bersama masyarakat Bayu melawan Belanda itu, kemudian dikenal dengan nama Puputan Bayu.
Jatuhnya Jagapati
Setelah tumbang dengan pasukan Jagapati dalam dua kali peperangan, Belanda memilih untuk bertahan.
Selain itu, Belanda juga mulai menerapkan strategi baru, yakni menjaga jalur ketat Jember dan jalan lain yang menjadi jalur suplai bahan baku ke Bayu.
Kompeni juga mulai merusak ladang dan sawah di sekitar Bayu, agar masyarakat Bayu tidak mendapatkan logistik.
Pada 1771, masyarakat Bayu dan Belanda kembali berperang. Pertempuran ini meluas ke seluruh Blambangan.
Pada 20 Maret 1772, Jagapati yang mendapatkan pasukan dari Bali menyerbu kamp Kompeni. Penyerbuan tersebut berhasil dipatahkan oleh kompeni dan Jagapati mengalami luka parah.
Dua bulan setelahnya, pasukan Kompeni mendapatkan prajurit tambahan dari Madura pimpinan Kapten Alap Alap. Pertempuran pun tak bisa dihindarkan. Akan tetapi, mereka kembali kalah dengan pasukan Jagapati.
Kekalahan yang terus berulang dari Jagapati dan pasukannya, membuat Kompeni meminta tambahan 8.000 prajurti ke Makassar dan Malaka. Akan tetapi Gubernur Van der Burg hanya mengirimkan 150 orang Eropa dan 5.000 orang pribumi serta 100 batur yang berasal dari Madura, Sumenep, Pamekasan dan daerah lain di ujung timur Jawa, melansir Historia.
Tak ingin kalah, Jagapati juga memperkuat prajuritnya dengan meminta tambahan pasukan dari Gusti Ngurah Jembrana di Bali.
Saat pertempuran akan meletus, Jagapati tewas pada 11 Juni 1772 akibat luka parah saat menyerbu kamp Kompeni.
Dalam situasi terdesak, para pemimpin perlawanan kemudian membentuk kelompok kecil dan menyebar ke desa-desa yang mereka kuasai. Mereka berjuang melawan Belanda hingga mati.
Terbentuknya Banyuwangi
Setelah pecah perang besar, wilayah ini dikuasai oleh Belanda. Blambangan kemudian dilebur dengan Karesidenan Besuki. Blambangan lantas dipecah menjadi dua dengan Gunung Raung sebagai batasnya, yaitu Blambangan Barat dan Blambangan Timur mengutip Tirto.
Di kemudian hari, Blambangan Timur berubah menjadi Kabupaten Banyuwangi dan masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Timur pasca Indonesia Merdeka, melansir Tirto.
Adapun perlawanan Jagapati pada 18 Desember 1771 ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi.