Tepat hari ini, 72 tahun yang lalu tepatnya 17 Januari 1948, telah ditandatangani perjanjian yang sangat merugikan bangsa Indonesia yakni Perjanjian Renville. Pasalnya dalam perjanjian tersebut ditetapkan Indonesia hanya berdaulat atas tiga wilayah yaitu Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sumatera, sedangkan yang lainnya menjadi wilayah kekuasaan Belanda.
Perjanjian yang mengakui kekuasaan Belanda atas dua pertiga wilayah Indonesia ini sangat tidak masuk akal karena setahun sebelumnya, tepatnya pada 25 Maret 1947, pihak Belanda telah secara sah menandatangani Perjanjian Linggarjati yang mengakui status kemerdekaan Indonesia.
Perjanjian Renville menunjukkan lemahnya diplomasi Indonesia di kancah internasional.
Perjanjian Renville: Latar Belakang, Tokoh, dan Kesepakatan
Perjanjian yang diketengahi tiga negara ini dinamakan perjanjian Renville karena dilaksanakan di atas geladak kapal perang Amerika Serikat USS Renville yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Berawal dari situasi yang semakin memanas setelah Belanda melanggar kesepakatan Linggarjati dan kemudian melakukan agresi militer pertamanya ke Indonesia. Agresi militer Belanda tersebut mendapat kecaman dunia internasional termasuk Amerika Serikat dan Inggris yang merupakan sekutu Belanda. Australia dan India kemudian mengusulkan keadaan yang terjadi di Indonesia dibahas dalam rapat dewan keamanan PBB.
Hasil dari rapat dewan keamanan PBB yakni pembentukan komisi perundingan Indonesia-Belanda pada tanggal 18 September 1947. Komisi ini kemudian dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN) yang anggotanya terdiri dari Australia (Richard Kirby), Belgia (Paul van Zeeland) dan Amerika Serikat (Frank Graham).
Tujuan utama dari KTN yakni memberikan media mediasi bagi Indonesia dan Belanda terkait dengan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan berujung pada 17 Januari 1948 yang melahirkan perjanjian Renville.
Tiga kesepakatan yang dihasilkan dalam Perjanjian Renville yakni:
- Wilayah Republik Indonesia yang diakui Belanda hanya, Yogyakarta,Jawa Tengah dan Sumatera.
- TNI harus ditarik mundur dari Jawa Barat dan Jawa Timur atau wilayah-wilayah kekuasaan Belanda.
- Disetujuinya garis demarkasi yang menjadi pemisah antara wilayah Indonesia dengan daerah pendudukan Belanda.
Sedangkan delegasi-delegasi yang hadir dalam perundingan tersebut yakni:
- Delegasi Republik Indonesia : Amir Syarifuddin (ketua), Haji Agus Salim (anggota), Ali Sastroamidjojo (anggota), Dr.Coa Tik Len (anggota), Dr. J.Leimena (anggota), dan Nasrun (anggota).
- Delegasi Belanda R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr.H.A.L van Vredenburgh (anggota), Dr. Chr. Soumoki (anggota), dan Dr. P.J. koets(anggota).
- Frank Graham (ketua), Paul van Zeeland (anggota) dan Richard Kirby (anggota) ketiga orang ini adalah anggota KTN yang bertugas sebagai mediator utusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB.
Dampak Perjanjian Renville: dari Hijrah Terbesar sampai Pembentukan Negara Islam
Salah satu butir dari Perjanjian Renville, pihak Indonesia harus menarik semua pasukan TNI dari wilayah-wilayah yang disepakati sebagai domainnya Belanda. Hal ini menyebabkan divisi-divisi TNI dari semua penjuru berpindah ke tiga wilayah yang diakui sebagai Indonesia.
Salah satu divisi yang melakukan perpindahan terbesar yakni Divisi Siliwangi. Divisi ini mendapat julukan ‘Pasukan Hijrah’. Dalam hijrah tersebut diperkirakan yang ikut mencapai 30.000 orang. Diantara para prajurit ada juga yang membawa serta anak istri atau keluarganya. Hijrah yang menuju Yogyakarta dan Jateng ini disambut antusias oleh warga yang berderet di pinggiran jalan sambil meneriakkan kata “Merdeka .. Merdeka ..”.
Selain perpindahan besar-besaran pasukan TNI, Perjanjian Renville juga sempat memunculkan wacana berdirinya negara Islam. Hal ini dimotori oleh pimpinan laskar Hizbullah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Tidak semua pejuang Indonesia yang tergabung dalam berbagai laskar mematuhi hasil Perjanjian Renville. Mereka terus melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda.
Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, Kartosuwiryo menganggap Negara Indonesia telah bubar dan mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang menggaungkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).