Djawanews.com – Hari ini, 20 Juni, diperingati sebagai Hari Jadi Pemerintahan Kota Madiun. Seperti kota-kota lain di Indonesia, pemerintah kota Madiun memutuskan hari jadi berdasar pada kajian sejarah yang telah dilakukan.
Saat melakukan kajian, konteks sejarah sering jadi perselisihan. Beberapa kota di Indonesia juga memiliki perselisihan semacam ini. Seperti yang terjadi saat menentukan Hari Jadi Sleman, perselisihan sejarah juga terjadi saat menentukan Hari Jadi Kota Madiun.
Sejarah Singkat Kota Madiun
Kota Madiun pada dasarnya telah ada sejak era Kesultanan Mataram. Di era ini pusat pemerintahannya berada di wilayah Kutho Miring, wilayah kelurahan Demangan.
Potensi besar yang dimiliki kota itu membuat Madiun kerap diperebutkan. Beberapa kali pemberontakan terjadi. Mengutip dari situs resmi Kota Madiun, Kasultanan Madiun sempat menitahkan kepada Bupati Mancanegara Timur untuk memadamkan pemberontakan yang terjadi di Purabaya.
Sebagai informasi, Bupati Mancanegara Timur memiliki banyak julukan. Di beberapa sumber ia disebut dengan Pangeran Timur, ada pula yang menyebutnya sebagai Pangeran Ronggo Jumeno, dan Panembahan Mediyun. Yang jelas ia diangkat sebagai bupati di Purabaya pada tanggal 18 Juli 1568.
Purabaya ini yang dinilai menjadi cikal bakal Kota Madiun.

Makam Pangeran Timur atau Pangeran Ronggo Jumeno (mazmuzie.blogspot)
Bagi sebagian orang, diangkatnya Pangeran Timur sebagai Bupati bisa jadi penanda alternatif dalam menentukan Hari Jadi Pemerintahan Kota Madiun. Sayangnya Pemkot Madiun memiliki patokan lain dalam menentukan hari jadinya.
Hari Jadi Pemerintahan Kota Madiun saat ini didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh Belanda yang telah diputuskan dalam Peraturan Daerah Kota Madiun No. 17 Tahun 2003 tentang Penetapan Hari Jadi Pemerintahan Kota Madiun.
Berdasarkan Perda tersebut, salah satu yang jadi pertimbangan dalam menentukan hari jadi adalah Staatsblad atau Lembaran Negara Republik Indonesia yang dibuat di era kolonial Belanda.
Bangsa Belanda dan Eropa memang tak melewatkan Madiun sebagai daerah jajahannya. Di masa itu Madiun menjadi daerah yang spesial karena memiliki pemerintahannya sendiri. Orang Belanda dan Eropa yang bekerja di perkebunan Madiun saat itu tidak mau hidup di bawah pemerintahan orang Jawa.
Atas alasan tersebut warga Belanda dan Eropa melakukan segregasi atau pemisahan sosial. Berdasarkan perundang-undangan Inland-sche Gementee Ordonantie yang dikeluarkan departemen Binnen-landsch, dibentuklah Staads Gementee Madiun atau Kota Praja Madiun.
Pembentukan Praja Madiun didasarkan pada peraturan Pemerintahan Hindia Belanda Staatsblaad tahun 1918 nomor 326 yang dikeluarkan pada 20 Juni 1918.
Dari sini perdebatan muncul. Beberapa pihak menilai bahwa penentuan Hari Jadi Pemerintahan Kota Madiun tidak sepantasnya berpatokan pada pembentukan pemerintahan Belanda di Madiun. Seharusnya penentuan didasarkan pada saat Pangeran Ronggo Jumeno atau Pangeran Timur diangkat sebagai Bupati.
Pemkot dinilai tak mempertimbangkan aspek sejarah nasional dan memilih aspek sejarah yang dibuat Belanda. Meski diwarnai dengan perdebatan, keputusan Pemkot telah final dan tak dapat diganggu gugat.
Dengan demikian, tahun ini Kota Madiun telah berusia 102 tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pemkot kali ini tidak mengadakan acara apapun mengingat pandemi masih terjadi.