Djawanews.com – Pangeran Harya Dipanegara atau akrab disapa Pangeran Diponegoro merupakan putera sulung Raja Kesultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono III dari istri selirnya yang bernama R.A Mangkarawati.
Pemilik nama asli Raden Mas Antawirya ini adalah pemimpin perang Jawa melawan penjajah Belanda pada 1825-1830. Perang tersebut dikenal sebagai perang Diponegoro.
Perang Jawa sendiri bermula dari persekongkolan licik Patih Danurojo dengan Residen Belanda.
Kala itu, Patih Danurejo merupakan orang yang memegang pemerintahan sehari-hari karena Sultan Hamengkubuwono masih belum akil baligh karena masih berusia tiga tahun.
Akibat dari persekongkolan itu, tanah milik Diponegoro di Tegalrejo dipatok oleh Belanda untuk Dibuat jalan. Proyek tersebut diusulkan oleh Patih Danurejo yang menjadi kaki tangan Belanda.
Diponegoro yang tidak terima dengan rencana tersebut menyuarakan perang dan didukung oleh masyarakat. Hal inilah yang menjadi awal mula terjadinya perang Diponegoro.
Pemberontakan Diponegoro banyak didukung oleh berbagai elemen, mulai dari petani, santri, ulama, dan para bangsawan.
Dalam waktu singkat, pemberontakan segera meluar ke daerah-daerah kekuasaan Mataram seperti, Bagelen, Kedu, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Rembang. Sampai seluruh Jawa dilanda peperangan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Pada 28 Maret 1830, Diponegoro ditangkap oleh Belanda. Satu bulan kemudian, di tahun yang sama, Diponegoro dibuang ke Manado.
Pangeran Diponegoro meninggal dunia di Makassar, Sulawesi Selatan pada 8 Januari 1855 dalam usia 65 tahun.