Djawanews.com – Jauh sebelum Nicolaus Copernicus menemukan teori heliosentris yang menyatakan matahari sebagai pusat alam semesta, masyarakat dunia meyakini bumi-lah pusat semesta raya.
Pandangan yang disebut sebagai teori geosentris itu dikemukakan ahli astronomi dari Mesir bernama Ptolomeus, dan filsuf Yunani, Aristoteles. Meski tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, selama berabad-abad tidak ada satupun ilmuwan yang melakukan penelitian lebih lanjut dan menentang pendapat kedua tokoh tersebut.
Hingga akhirnya, Nicolaus Copernicus hadir dan menjadi salah satu ilmuwan yang paling menentang keabsahan teori geosentris. Melalui penelitiannya, ahli astronomi asal Polandia itu meyakini matahari merupakan pusat alam semesta. Sementara bumi dan planet-planet lain beredar mengelilinginya.
Karya singkat Copernicus berjudul teori heliosentris atau “Commentarius” itu seketika menggemparkan jagat ilmu pengetahuan Eropa.
Copernicus, sang ahli astronomi penemu teori heliosentris
Nicolaus Copernicus dilahirkan di tengah lingkungan saudagar kaya pada 19 Februari 1473. Anak bungsu pasangan Mikolaj dan Barbara Watzenrod ini menghabiskan masa kecil hingga menempuh pendidikan menengah di Polandia.
Copernicus kemudian melanjutkan pendidikannya di Italia pada musim gugur 1942. Di sini, Ia mengambil jurusan kedokteran, hukum, astronomi dan matematika. Ia kembali ke Polandia pada tahun 1506 untuk menjadi dokter pribadi pamannya, seorang uskup Katolik.
Di masa itulah, Copernicus mulai mengembangkan penelitiannya di bidang astronomi. Salah satu peninggalan Copernicus yang begitu besar pengaruhnya dalam perkembangan ilmu astronomi yaitu cara matematis menghitung posisi planet dan durasi waktu terjadinya peristiwa angkasa seperti gerhana.
Pada tahun 1543, Copernicus merilis penemuannya yang paling akbar dan membuat namanya dikenang hingga hari ini, teori heliosentris. Melalui teori ini, Copernicus meyakini matahari sebagai pusat alam semesta, sementara bumi dan planet-planet lain mengelilinginya.
Sebelum merilis penemuannya itu, selama bertahun-tahun, Copernicus berusaha menyempurnakan teori heliosentris. Ia menemukan fakta terbaru mengenai kondisi planet-planet di alam semesta, termasuk kecepatan perputaran tiap planet yang akan memengaruhi kondisinya.
Penelitian teori heliosentris yang dimulai dari tahun 1513 itu membutuhkan waktu sekitar 30 tahun hingga teori itu dipublikasikan. Bukan tanpa aral, sebelum merilis penemuannya, Copernicus dirundung ketakutan akan ancaman gereja Katolik yang saat itu begitu mengurung banyak aspek kehidupan di Eropa.
Teori heliosentris Copernicus merupakan salah satu bentuk tindakan radikalisme yang dianggap tabu dan melanggar keyakinan otoritas gereja selama ini yang meyakini bahwa bumi merupakan pusat alam semesta.
Teori heliosentris akhirnya berhasil diterbitkan berkat bantuan seorang warga Jerman pemeluk aliran Lutherian. Untuk melindungi Copernicus dan dirinya sendiri, pria Jerman tersebut lantas menambahkan pengantar dari imam besar Lutherian yang menyebut karya itu sebagai asumsi belaka.
Namun masyarakat kadung percaya dengan penjelasan teori heliosentris Copernicus yang lebih masuk akal ketimbang teori geosentris yang diyakini pihak gereja. Sehingga karya Copernicus menjadi kontroversi dan menimbulkan perdebatan di masyarakat bertahun-tahun setelahnya. Ya, sekitar setengah abad setelah diterbitkan, teori heliosentris Copernicus memang tak begitu pouler. Hingga seorang astronom Italia, Galileo Galilei merancang teleskop besar pada tahun 1609 dan melakukan pengamatan langit. Galileo mengamini kebenaran teori Copernicus.