Tragedi Tanjung Triok merupakan peristiwa berdarah yang melibatkan muslim dengan aparat keamanan.
Peristiwa tersebut bermula dari penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang gencar digaungkan Presiden kedua RI Soeharto sejak awal 1980-an.
Djawanews.com – Pada 12 September 1984, tepat pada hari ini 36 tahun yang lalu, terjadi peristiwa berdarah yang melibatkan umat muslim di Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan aparat keamanan,
Peristiwa tersebut bermula dari penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang gencar digaungkan Presiden kedua RI Soeharto sejak awa 1980-an.
Masyarakat yang menolak, melakukan demonstrasi dan pecahlah kerusuhan. Aparat keamanan pemerintah Orde Baru (Orba) bertindak berlebihan dalam menghadapi aksi massa tersebut, sehingga menimbulkan korban tewas. Kelak peristiwa tersebut dikenal dengan Tragedi Tanjung Priok.
Tragedi Tanjung Priok, Diduga Akibat Provokasi
Mengutip Kompas, Demonstrasi penolakan Pancasila sebagai asas tunggal berakar dari tindak kekerasan dan penahanan terhadap empat warga, yakni Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syafrudin Rambe, dan Muhammad Nur.
Empat orang tersebut diamankan karena melakukan aksi pembakaran sepeda motor Babinsa. Pembakaran dilakukan setelah masyarakat mendengar ada aksi provokasi oknum tentara di sebuah masjid.
Berita yang beredar semakin liar dan emosi warga setempat memuncak. Aksi menolak penahanan empat orang itu pun tak terelakkan lagi.
Warga kemudian berkerumun dalam sebuah tablig akbar di Jalan Sindang, di kawasan Koja, Tanjung Priok, Jakarta utara pada 12 September 1984.
Salah satu tokoh masyarakat, Amir Biki yang menjadi penceramah dalam tablig akbar, mendesak pemerintah untuk membebaskan empat orang itu.
Amir Biki memimpin massa untuk menggeruduk Komando Distrik Militer Jakarta Utara. Berbagai langkah dilakukan untuk membebaskan empat tahanan itu, yang juga merupakan jamaah mushola assa’adah.
Akan tetapi, langkah yang dilakukan oleh Amir Biki mendapat hadangan pasukan militer bersenjata lengkap di depan Polres Jakarta Utara.
Aparat Orba berusaha melakukan tindakan persuasif agar massa mau membubarkan diri. Tetapi, mereka tidak mau bubar sebelum tuntutannya dipenuhi.
Bahkan muncul desas-desus bahwa dari massa yang melakukan demonstrasi terdapat sejumlah provokator yang membawa senjata tajam dan besin.
Hal ini menjadi alasan bagi aparat keamanan untuk bertindak represif, bahkan cenderung brutal.
Aparat memberondong para demonstran dengan timah panas. Akibatnya, korban berjatuhan. Komnas HAM melaporkan korban tewas mencapai 24 orang, sedangkan korban luka-luka mencapai 55 orang.
Tragedi Tanjung Priok ini lantas mendapat perhatian serius. Pemerintah dianggap tak bisa merampungkan masalah ini dengan baik dan melanggar hak asasi manusia.
Berdasarkan laporan investigasi kasus Tanjung Priok yang dirilis Kontras pada Maret 2000, Komisi Penyelidik Pemeriksa dan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) dibentuk.
KP3T diminta melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM, sebab mendapat tekanan serius dari berbagai pihak untuk segera mengusus tuntas tragedi Tanjung Priok.
Hasil penyeledikan menyebutkan, terdapat sebuah kesewenang-wenangan dari pihak aparat terhadap para demonstran.
Selain itu, pihak aparat juga melakukan penahanan di luar prosedur hukum terhadap seseorang yang dicurigai ikut dalam insiden tersebut.
Bahkan, terjadi penghilangan paksa dalam kurun waktu tiga bulan sejak tragedi 12 September 1984. Kala itu, korban ditangkap dan ditahan secara semena-mena tanpa ada surat pemberitahuan kepada pihak keluarga dan tanpa alasan yang jelas.