Masyarakat Papua memiliki kecintaan kepada Abdurrahman Wahid alias Gus Dur karena berbagai alasan.
Papua kembali bergejolak karena adanya sikap diskriminatif kepada masyarakat Papua yang ada di Jawa. Belum jelas siapa dan mengapa sikap tersebut kembali terjadi. Masyarkat Indonesia patut belajar dari masa lalu, patut belajar dari Gus Dur dan masyarakat Papua.
Masyarakat Papua mencintai Gus Dur
Yenny Wahid, putri Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sempat menulis dalam media sosialnya terkait peristiwa Papua yang terjadi. Tulisan Yenny Wahid dapat menjadi pendingin sekaligus mengenang sosok Gus Dur yang dekat dengan masyarakat Papua.
Yenny menceritakan bahwa Gus Dur selalu berupaya untuk memanusiakan serta mengangkat harkat dan martabat orang Papua. Berbagai upaya dilakukan oleh Presiden ke-4 RI tersebut. Salah satu upaya besar yang dilakukan Gus Dur kepada Papua adalah penggantian nama, dari Irian Jaya menjadi Papua.
“Bagi Gus Dur, orang-orang Papua adalah orang-orang yang dekat di hatinya. Almarhum Papa Theys, Bapa Toha, dan tokoh-tokoh Papua lainnya adalah kawan-kawan karibnya. Gus Dur pula yang mengizinkan warga Papua memanggil diri mereka dengan nama kebanggaannya: Papua,” tulis Yenny di akun Instagram pribadinya, Selasa (20/8/2019).
Yenny juga mengatakan, selama berpuluh tahun, orang Papua sering dianaktirikan oleh Jakarta. Setelah Gus Dur menjabat sebagai presiden, Gus Dur mencoba merangkul masyarakat Papua. Gus Dur mencoba mengembalikan harkat dan martabat orang-orang Papua.
Kecintaan masyarakat Papua juga diungkapkan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe saat menemui ribuan pengunjuk rasa di Lapangan Apel Kantor Gubernur Papua, Kota Jayapura, Senin (19/8/2019). Saat itu Lukas menghubungi Gubernur Jawa Timur, Khofifah.
Ia mengatakan kepada Khofifah bahwa orang Papua mencintai Presiden Gus Dur. Lukas menganggap bahwa Khofifah merupakan kader Gus Dur, namun Lukas mempertanyakan mengapa mahasiswa Papua dianiaya oleh masyarakat Khofifah hanya karena masalah bendera?
Kecintaan Papua kepada Gus Dur juga diungkapkan oleh Filep Karma, aktivis Papua Merdeka. Seperti yang dilansir dari cnnindonesia.com, Filep mengatakan bahwa Presiden RI yang paling baik kepada Papua adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Filep mengatakan beberapa alasan mengapa di era pemerintahan Gus Dur jadi yang paling baik bagi Papua. Salah satunya adalah tidak adanya penembakan orang Papua. Artinya, pada masa Gus Dur tidak ada tindakan represif yang dialami warga Papua.
“Waktu Gus Dur tidak terdengar orang Papua ditembak,” ungkap Filep.
Filep juga mengatakan bahwa era kepresidenan Gus Dur jadi era kepemimpinan yang demokratis, manusiawi, dan pluralis. Filep mencontohkan peristiwa TPM dan pemerintah saat itu. Sebelumnya, TPM tidak pernah bisa masuk ke kota. Namun di era Gus Dur, TPM bisa masuk ke kota dan berunding dengan militer.
“Kayak waktu itu TPM bisa masuk ke kota berunding dengan militer. Wow, saya juga terkaget-kaget mendengarnya. Artinya TPM ini yang selalu enggak bisa masuk ke kota, bisa didatangkan di kota,” kenang Filep.
Gus Dur juga membuat berbagai kebijakan yang dianggap baik bagi Papua. Misalnya, Gus Dur sempat menyumbang dana besar demi terselenggaranya Kongres Rakyat Papua di akhir Mei tahun 2000. Cerita tentang keteladanan Gus Dur ini sempat diceritakan oleh Manuel Kaisiepo, Menteri Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia era Presiden Megawati.
Dikutip dari nu.or.id, Gus Dur menyetujui Kongres Rakyat Papua untuk dilaksanakan. Saat kongres akan diadakan, semua orang justru protes karena kongres tersebut dianggap berisi kaum separatis. Namun presiden (Gus Dur) tetap menyetujui kongres tersebut.
Saat itu Kongres Papua menjadi forum politik bagi masyarakat Papua. Di dalamnya dibahas berbagai gagasan dan aspirasi masyarakat Papua yang selama pemerintahan-pemerintahan sebelumnya mengalami kebisuan. Di sisi lain, orang justru menganggap Kongres Papua menjadi ajang untuk Papua memerdekakan diri.
Saat itu kongres sempat terhambat karena masalah pendanaan. Gus Dur tidak hanya mengizinkan Kongres Papua terlaksana, namun juga memberi bantuan berupa pendanaan. Diperkirakan bantuan yang diberikan sebesar Rp1 miliar. Ini menjadi langkah Gus Dur yang dianggap aneh oleh beberapa orang.
Gus Dur juga sempat memperbolehkan bendera Bintang Kejora dikibarkan di Papua. Tidak terkecuali pada 1 Desember yang merupakan hari ulang tahun kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Gus Dur memperbolehkan masyarakat Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora, namun dengan syarat tertentu.
Berpulangnya Gus Dur ke hadirat Tuhan tak kalah menimbulkan kesedihan tersendiri bagi masyarakat Papua. Kesedihan Papua sempat dituliskan dalam sebuah artikel yang ditulis oleh B Josie Susilo Hardianto. Tulisannya dimuat di kompas.com pada 4 Januari 2010. Berikut ini cuplikan tulisannya.
Anton Sumer tercenung di depan televisi.
Pemberitaan tentang wafatnya mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid menyita seluruh perhatiannya.
”Ai, aduh. Kami, orang Papua, layak bersedih. Beliau bapak kami orang Papua. Beliau pula yang mengembalikan lagi nama Papua,” kata Anton sambil memegang kepalanya.
Dulu, semasa Orde Baru, tabu jika orang Papua menyebut diri mereka sebagai orang Papua. Namun, oleh Gus Dur tembok-tembok ketakutan itu diruntuhkan. Dulu Papua disebut dengan Irian, demikian juga dengan penduduknya, orang Irian.
Dulu, meskipun secara politis mereka segan menyebut diri mereka dengan Papua karena takut diidentikkan dengan Organisasi Papua Merdeka, jauh di dalam hati mereka adalah orang Papua.
”Karena Gus Dur, kami tidak takut-takut lagi menyebut diri kami orang Papua, dan kami bangga dengan itu,” kata Yehezkiel Belaw, seorang pemuda asli Paniai.
Gus Dur juga dianggap berhasil menggunakan strateginya dalam merangkul rakyat Papua. Prestasi pengubahan nama dari Irian Jaya menjadi Papua contohnya. Cara yag digunakan Gus Dur sangat unik dan mengagumkan.
Dikutip dari nu.or.id, Gus Dur saat itu mengatakan bahwa ia akan mengubah nama Irian jadi Papua karena dua alasan. Pertama, nama Irian dianggap jelek oleh Gus Dur.
“Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian,” jelas Gus Dur.
“Kedua,” kata Abdurrahman Wahid, “Dalam tradisi orang Jawa kalau punya anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya agar segera sembuh. Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua.”
Beberapa pihak menduga alasan mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa dalam penggantian nama Papua. Alasan tersebut digunakan untuk “menenangkan” hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes kepada Gus Dur. Bagaimana pun cara yang digunakan, Abdurrahman Wahid berhasil mewujudkan keharmonisan di dalam masyarakat Papua dan Indonesia.