Djawanews.com – Pandemi Corona memang menyebabkan pemerintah menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang meresahkan kaum pekerja.
Wabah penyakit ini juga menyebabkan May Day atau Hari Buruh Internasional 2020 yang diperingati saban tahun setiap tanggal satu Mei ditiadakan, barangkali di lebih dari 90 negara yang juga menetapkan May Day sebagai hari libur nasional, tak terkecuali di Indonesia. Kendati demikian, ada atau tidak adanya pandemi yang menghantam berbagai sektor kehidupan ini, tak lantas menyurutkan para buruh menuntut hak mereka yang kian hari, kian terongrong, terlebih dengan adanya ancaman Omnibus Law yang jelas-jelas merugikan para pekerja di Indonesia.
Omnibus Law dan nasib para pekerja Indonesia
Hari ini, masih ada perusahaan yang secara ilegal tidak memberikan jaminan kesehatan dan pesangon kepada pegawainya. Bahkan beberapa di antaranya juga memberikan upah yang sangat kecil dan berbanding terbalik dengan porsi kerja yang tak semestinya.
Tak sedikit pula atasan yang sekena jidat mepekerjakan buruhnya di waktu libur mereka yang sangat sedikit; yang hanya bisa digunakan untuk sekadar merenggangkan badan dan berkumpul dengan orang tercinta sebelum esok diperas kembali keringatnya. Dan kini mimpi buruk para pekerja kian bertambah dengan kehadiran kebijakan baru yang kian mencekik para buruh: Omnibus Law.
Satu Mei 2020 dan mungkin beberapa tahun ke depan begitu mencekam bagi kaum pekerja. Omnibus Law menjadi ancaman paling nyata yang siap membredel hak para pekerja Indonesia yang sudah tercekik dengan kesewenang-wenangan perusahaan.
Terlebih, penggodokan kebijakan ini sedari awal, hanya melibatkan peran serta para pengusaha nir kontribusi buruh sama sekali. Tak ayal, banyak pasal yang condong pada kepentingan pengusaha dinilai merugikan para pekerja.
“Pendekatannya pendekatan ekonomi, pendekatan para pemodal, pendekatan asosiasi pengusaha. Sedangkan asosiasi warga, asosiasi orang-orang korban, enggak didengarkan sama sekali. Padahal, ruang demokrasi itu syaratnya partisipasi publik. Semua yang terdampak bisa bicara, ini kan enggak,” ujar Isnur Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur seperti dikutip Djawanews dari Tirto.
Ada banyak pasal kontroversial di dalam Omnibus Law yang jelas harus dikritisi. Salah satunya persoalan upah.
Omnibus Law dianggap berusaha menghilangkan aturan upah minimum dengan menyertakan pasal tentang upah per jam dan fleksibilitas kerja. Peraturan ini disinyalir merupakan akal-akalan para pengusaha agar bisa membayar buruh di bawah upah minimum dengan jam kerja sesuka hati mereka.
“Memang ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal dikutip Tempo.
Dengan adanya aturan ini, dikhawatirkan kelak akan ada banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam per hari demi menghemat ongkos menggaji pekerja.
Pasal selanjutnya yang dikritisi yaitu soal pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam Omnibus Law, buruh yang diberhentikan dijanjikan mendapatkan pesangon setara enam bulan upah, pelatihan keterampilan, dan akses ke pekerjaan baru.
Perubahan ini menurut Said Iqbal justru sangat merugikan buruh. Sebab sebelumnya, ketentuan pesangon yang diatur dalam UU 13/2003 menuliskan bahwa besarnya pesangon bisa mencapai 9 bulan upah, untuk PHK jenis tertentu malah bisa 18 bulan. Ada juga penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon. Melihat perbandingan tersebut, pemberian upah sebesar 6 bulan gaji jelas sebuah penurunan.
Selain itu, terdapat deretan pasal lain yang membuat Omnibus Law disinyalir mengakomodir kepentingan pengusaha tanpa melihat penderitaan para pekerja seperti penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan pemerintah, hilangnya jaminan sosial pensiun, hingga PHK yang dapat dilakukan semena-mena.
May Day hari ini dan Omnibus Law yang mencekik
Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejak May Day berevolusi dari hari raya kaum Pagan menjadi Hari Buruh Internasional yang bermula dari perjuangan ratusan ribu buruh di Amerika Serikat pada tahun 1886, hidup kelas pekerja masih berkutat pada soal-soal ekonomi: gaji rendah dan ancaman PHK yang selalu mengintai. Lantas, hari ini Omnibus Law hadir menggaris bawahi penderitaan para buruh dengan deretan pasalnya yang bikin mengrenyitkan dahi.
Kendati May Day tahun ini tidak dapat diadakan atau dialih fungsikan demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19, para buruh sekali lagi: Saya, Anda dan kita semua tetap harus mengawal dan mengkritisi kebijakan yang jelas-jelas merongrong kemanusiaan.
Maka, tak heran jika May Day tahun ini akan muncul tidak hanya pada 1 Mei semata, mungkin sepanjang tahun ketika ratusan buruh tumpah ke jalan, menuntut keadilan dan penghapusan kesewenang-wenangan pengusaha dan penguasa. Dengan kata lain, Omnibus Law harus ditiadakan. Tanpa terkecuali.