Pada 2 Januari 1962, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala alias Kola untuk membebaskan Irian Barat yang saat itu masih diduduki oleh Belanda.
Pembentukan komando tersebut merupakan langkah militer Soekarno untuk menggusur kekuasan Belanda di Irian Barat karena Belanda telah melanggar hasil perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
KMB sendiri merupakan konferensi tingkat tinggi yang berlangsung di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Hasil dari konferensi itu menyatakan, Belanda harus segera angkat kaki dari Indonesia hingga akhir 1949. Belanda kemudian mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Khianat Belanda dan amuk Soekarno
Sesuai dengan kesepakatan KMB, wilayah Indonesia mencakup bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Papua—yang dalam perjanjian akan diserahkan setahun setelahnya, tak juga diserahkan setelah lebih dari setahun.
Sikap Belanda yang menghianati hasil KMB tentu membuat Indonesia murka. Terlebih, KMB sangat merugikan Indonesia karena harus membayar utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden.
Kesepakatan tersebut akhirnya kandas. Indonesia kemudian megambil langkah untuk menasionalisasi perusahan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia serta mengusir orang-orang Belanda yang bermukim di tanah air.
Pada 19 Desember 1961, Soekarno yang kelewat kesal dengan Belanda, berpidato di hadapan masyarakat Yogyakarta.
Ia membakar semangat massa dengan menyerukan perang terhadap Belanda dan membebaskan Irian Barat. Ia geram dengan langkah politik Belanda yang membikin negara boneka termasuk negara Papua.
Dalam orasinya, Soekarno berseru: “Gagalkan, hai seluruh rakyat Indonesia, gagalkan pendirian negara Papua itu,”
Selain itu, ia juga memberikan komando penting. “Batalkan negara Papua itu! Kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat! Gagalkan! Kibarkan bendera kita! Siap sedialah, akan datang mobilisasi umum! Mobilisasi umum bagi yang mengenai seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat sama sekali daripada cengkraman imperialis Belanda,”
Pidato Soekarno itu diingat sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora) dengan tiga pesan penting. Yakni, gagalkan pembentukan negara boneka papua, kibarkan bendera merah putih di Irian Barat serta bersiaga untuk mobilisasi umum.
Selanjutnya, pada 2 Januari 1962, tepat pada hari ini 57 tahun silam, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala melalui keputusan Presiden No.I/1962. Presiden Soekarno menunjuk Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala.
Menjadi panglima Komando Mandala mungkin jejak paling membanggakan dalam karier kemiliteran Soeharto.
Soeharto tidak sendirian
Saat kampayane pembebasan Irian Barat, Panglima Komando Mandala, Soeharto, tidak bergerak sendirian. Ia dibantu salah satu perwiranya Amir Mahmud untuk membidangi urusan operasi.
Saat operasi, Amir kerap berada di samping Soeharto terutama saat melakukan peninjauan disejumlah pos penting.
Tak hanya Amir, Soeharto juga dibantu beberapa nama untuk menyusun operasi militer, seperti Kolonel Soebono dan Kolonel Leo Wattimena (Wakil Panglima Komando Mandala) serta Kolonel A, Tahir (Kepala Staf Komando Mandala).
Kemudian, soeharto menunjuk Kolonel Soedomo sebagai Panglima AL Mandala, dan Brigjen Rukman untuk memimpin operasi pendaratan dalam rencana invasi ke Irian Barat.
Selain itu, ada juga nama-nama lain yang patut diperhitungkan seperti Letkol Ali Murtopo, Mayor Untung Sjamsuri dan Mayor Benny Moerdani.
Ali diberi tugas Soeharto untuk mengembangkan kemampuan Komando Mandala di bidang intelijen serta Operasi penyusupan. Untung diminta untuk memimpin geriliya dalam operasi Srigala.
Adapun Benny memiliki nasib yang sama dengan Untung. Ia diperintahkan Soeharto untuk bergeriliya di Merauke dalam Operasi Naga.
Ketika menjalankan misi, Untung dan Benny pernah hampir tewas karena tertangkap oleh tentara Belanda. Saat operasasi perebutan Irian Barat berakhir dan Komando Mandala dibubarkan, jasa mereka mempertahankan nyawa diganjar penghargaan.
Untung dan Benny sama-sama mendapatkan penghargaan Bintang Sakti—tanda kehormatan tertinggi bagi seorang anggota ABRI.
Serangan besar ke markas Belanda di Irian Barat batal dilakukan
Kendati komando Mandala sudah dibentuk sejak 2 Januari 1962, namun tidak serta merta pasukan pimpinan Soeharto langsung bergerak menuju Irian Barat.
Operasi penyerangan baru disusun satu bulan setelahnya. Operasi ini direncanakan di Markas Komando Caduad (sekarang Kostrad) di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, mengutip Historia.
Di markas terjadi perdebatan sengit. Sebagian memilih industri minyak Sorong sebagai target utama serangan. Namun sebagian lagi lebih memilih Pulau Biak. Sebab, Biak merupakan basis pertahanan Belanda di Irian Barat.
Penentuan target operasi sempat tersendat. Akhirnya diadakan rembug dengan Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yakni Mayor Jendral Ahmad Yani.
Hasilnya, KOTI lebih memilih Biak sebagai target utama penyerbuan. Untuk hari penyerbuannya ditetapkan bulan Agustsus 1962 dengan kode operasi: Jayawijaya.
Kemudian, mayor Soeharto memberikan tugas kepada masing-masing pimpinan komponen Mandala. Komodor Soedomo bertanggung jawab terhadap operasi amfibi; Brigadir Jenderal Rukman diminta memimpin operasi pendaratan; Kolonel Leo Wattimena dipercaya mengomandoi serangan udara. Adapun sang Panglima Mandala, Soeharto memimpin langsung operasi penerjunan.
Rencananya, serangan akan mulai digencarkan pada 12 Agustus 1962. Akan tetapi, karena pengaruh cuaca, serangan diundur menjadi 14 Agustus.
Operasi penyerbuan markas Belanda di Irian Barat mengerahkan hampir seluruh pasukan inti TNI. Mulai dari AD sebanyak dua puluh ribu pasukan dari berbagai divisi, melansir Historia.
Dari AL membawa 126 kapal meliputi: buru torpedo, kapal selam, kapal fregat, buru selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, tangker, kapal rumah sakit, serta sepuluh ribu pasukan elite mariner Korp Komando.
Sementara AU menyumbang pesawat tempur tercanggih yang dibeli dari Uni Soviet seperti: 38 unit bomber TU-16, 18 unit MIG-17, 6 unit P-51/Mustang, 1 Skuadron Gannet serta 6 unit Albatros mengutip Historia.
Namun, ketika Soeharto bersiap melancarkan misinya, tiba-tiba panglima besar, Presiden Soekarno memberikan perintah untuk menunda operasi.
Rupanya, para negosiator Indonesia sedang melobi Amerika Serikat untuk memberikan tekanan terhadap Belanda agar bersedia berunding dengan Indonesia.
Lalu, tanggal 14 Agustus atau sama dengan 15 Agustus waktu New York, terdengar Kabar Belanda kalah dalam meja diplomasi.
Diplomasi yang dimediasi oleh Gedung Putih dan PBB itu berbuah penjanjian New York yang menandai berakhirnya sengketa di Irian Barat. Hasilnya, Belanda harus segera angkat kaki dari Indonesia dan pemerintahan transisi diberlakukan sampai pertengahan 1963.