Djawanews.com – Nama kecilnya Muhammad Darwis (ada literatur yang menyebutkan darwisy saja). Ia adalah pendiri organisasi Muhammadiyah pada 1912.
Ayahnya KH Abu Bakar merupakan seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Agung Kasultanan Yogyakarta.
Darwis juga termasuk keturunan yang keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar di antara Wali Songo yang juga dikenal sebagai pelopor penyebaran Islam di Tanah Jawa.
Saat masih kecil, Muhammad Darwis dididik orang tuanya di dalam lingkungan pesantren dan menjadi tempat untuk memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab.
Pergi ke Makkah dan Belajar dengan Para ‘Pembaharu’
Muhammad Darwis tercatat pernah pergi ke Makkah pada 1883 untuk memperdalam ilmu agama dan bermukim di sana selama lima tahun.
Saat akan kembali ke tanah air, seperti lazimnya tradisi pada masa itu, ia menemui seorang ulama yang akan memberinya nama baru sebagai pengganti nama kecil.
Sepulang dari Makkah pada tahun 1888, Darwis berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada 1903, Ahmad Dahlan kembali ke Tanah Suci Makkah. Di keberangkatannya yang kedua ini, ia belajar ke sejumlah ulama, salah satunya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Tak hanya itu, Dahlan juga berinteraksi dengan gerakan-gerakan pembaharuan Islam yang saat itu sedang populer di beberapa negara.
Ia menelaah pemikiran tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamaluddin al-Afghani, Ibu Taimiyah, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.
Karya-karya kaum modernis menarik minat Dahlan dan membuatnya secara khusus bertemu dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha untuk mengupas esensi gerakan pembaharuan.
Pulang ke Tanah Air dan Mendirikan Muhammadiyah
Setelah memenuhi pemikirannya dengan gerakan-gerakan pembaharu, Ahmad Dahlan kembali ke Tanah Air dan merintis gerakan pembaharuan Islam yang dikenal dengan Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta.
Saat itu, gerakan pembaharuan yang dimotori oleh Dahlan berlawanan dengan kaum tradisional yang masih menoleransi hal-hal yang bukan bersumber dari Islam, tapi dari tradisi.
Meski menjadi seorang modernis, Ahmad Dahlan bukanlah sosok yang kaku. Ia justru luwes dan toleran dengan praktik keagamaan di zamannya, sehinga apa yang disampaikannya mudah diterima banyak orang.
Selain itu, Dahlan juga merupakan sosok yang dapat membaur dengan semua golongan. Ia akrab dengan Boedi Oetomo yang cenderung sekuler dan abangan.
Ada cerita menarik dari Ahmad Dahlan saat menjadi Hoofd-Bestuur Muhammadiyah.
Dahlan yang juga seorang mubaligh terus menerus mengajarkan surat al-Maun ayat 1-7 kepada muridnya hingga mereka bosan. Berikut terjemahan suratnya
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?/ Maka itulah yang menghardik anak yatim/ Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin/ Maka celakalah orang yang salat/ (yaitu) rang-orang yang lalai terhadap salatnya/ Yang berbuat riya/ Dan enggan (memberikan) bantuan”
Karena tidak beranjak ke surat yang lain, murid-murid Ahmad Dahlan bertanya kepada gurunya, mengapa mengajarkan al-Maun berulang-ulang, padahal mereka sudah hafal dan sudah mengamalkannya sebagai bacaan salat.
“Kalian sudah hafal surat al-Maun, tapi bukan itu yang saya maksud Amalkan! Diamalkan artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya,” kata Ahmad Dahlan seperti dikutip dari Junus Salam dalam K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya (2009)
Mendengar jawaban dari gurunya, para murid kemudian langsung berkeliling mencari orang miskin dan membawanya pulang untuk diberi makan, minum dan diberi tempat tidur yang layak.
Dengan semangat al-Maun pula, Muhammadiyah kelak tumbuh menjadi organisasi islam yang populis, memperhatikan nasib orang miskin, dan bukan borjuis.
Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1953, tepat pada hari ini 97 tahun yang lalu, dalam usia 54 tahun. Baginya, urusan agama bukan hanya sebatas doktrinal saja namun harus dipraktikkan untuk mengentaskan persoalan umat.