Djawanews.com – Hari ini adalah hari kematian Tan Malaka, salah satu pemikir yang dimiliki Indonesia namun dibunuh pula oleh orang Indonesia sendiri. Tan dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur.
Kematian Tan Malaka sebenarnya masih menyisakan misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan. Namun, Harry Poeze, sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka, setidaknya berhasil menjadi lentera dalam misteri kematian Tan.
Harry Poeze Melihat Kematian Tan Malaka
Dalam bukunya yang berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Industri jilid keempat, Harry mencoba berbicara mengenai Kematian Tan Malaka.
Jika boleh dikatakan, semua berawal dari bebasnya Tan Malaka dari penjara atas tuduhan pemberontakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Harry mengatakan bahwa Tan dipenjara di Magelang sejak Maret 1946 tanpa diadili. Ia baru bebas pada 1948, tepatnya pada 16 September.
Di tahun yang sama dengan bebasnya Tan, Pemerintah mengeluarkan larangan sekaligus pembubaran PKI karena Peristiwa Madiun. Dari sini, Tan melihat peluang untuk membuat partai baru pengganti PKI.
Tan bersama para pengikutnya yang masih setia mendirikan partai baru yang bernama Partai Murba dengan asas “antifasisme, antiimperialisme, dan antikapitalisme”.
Meski Partai Muba menempatkan Tan sebagai inisiatornya, namun Tan enggan duduk di kursi ketua. Entah apa alasannya, namun Harry dalam bukunya mengatakan bahwa Tan berambisi menjadi presiden Indonesia, bukan sebagai ketua partai.
“Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata Harry A. Poeze dalam bukunya.
Setelah Partai Murba selesai melaksanakan kongres pertama, Tan melakukan perjalanan ke Kediri pada 12 November 1948. Di tempat itu ia dikatakan mencari persekutuan dengan Sabarudin, komandan batalion 38.
Saat berada di Jawa Timur, Tan pelan-pelan mulai geriliya. Ia berkesempatan bertemu dengan para penduduk, para prajurit TNI, bahkan para pimpinan politik untuk mendulang dukungan. Di saat itu pula ia sempat membuat pamflet yang berisi gagasan dan cita-citanya mendirikan negara sosialis.
Upaya Tan Malaka di Jawa Timur cukup berhasil saat itu. Ia mampu merekrut beberapa batalion untuk bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP). GPP ditugaskan untuk menghadapi serangan Belanda jika serangan datang.
Di saat yang bersamaan, pemerintah menganggap diplomasi yang dilakukan Tan sebagai sebuah ancaman. Mereka sadar bahwa Tan adalah pemikir yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta. Oleh karenanya, gerakan yang dibangun Tan harus ditumpas.
GPP dan Tan sering berpindah-pindah markas untuk lari dari kejaran pemerintah. Sampai pada suatu ketika, mereka melarikan diri dengan menyusuri lereng Gunung Wilis. Dari sini sejarah kematian Tan Malaka mulai kabur. Namun, pada tahun 1990 Harry Poeze berhasil menguak misteri nasib Tan Malaka.
Berdasarkan penelusuran Harry, diketahui bahwa Tan dieksekusi oleh Suradi Tekebek, orang suruhan Letnan Dua Sukotjo. Eksekusi Tan dilakukan di Selopanggung, Kediri, pada 21 Februari 1949. Kematian Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka tak dilaporkan kepada siapapun, bahkan tanpa ada penyelidikan dan dirahasiakan selama bertahun-tahun. Sedangkan jenazah Tan Malaka diduga dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo.