Polwan atau Polisi Wanita pada mulanya dibentuk saat Belanda melancarkan agresi militer ke Indonesia setelah merdeka. Ketakutan akan mata-mata Belanda yang mempekerjakan wanita pribumi, membuat Polwan dibentuk.
Banyak dari wanita pribumi yang menolak diperiksa oleh para petugas kepolisian yang saat itu laki-laki. Atas kekawatiran adanya mata-mata Belanda, maka satuan polisi Wanita dibentuk dan dilakukan pelatihan pada 1 September 1948.
Djawanews – Jika jumlah Polwan di Indonesia kini sudah mencapai ratusan ribu, pada awal kelahiran Polwan hanya terdapat enam anggota yang mengikuti pelatihan di Sekolah Polisi Negara (SPN).
Menariknya keenam peserta yang mengikuti pelatihan di SPN tersebut semua berasal dari Minangkabau, di antaranya Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher.
Pada tahun itu enam wanita tersebut mengikuti pelatihan bersama 44 peserta pria. Dipilihnya pelatihan di Bukittinggi sendiri, lantaran pada masa Agresi Militer Belanda II, Yogyakarta yang saat itu menjadi pusat pemerintahan terancam dan poros pemerintahaan waktu itu dialihkan ke Bukittinggi.
Perjuangan keenam polisi wanita asal Minangkabau tersebut juga terekam dalam sejarah, dilansir dari Tirto ,melalui buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (1998) tertulis jika terdapat tiga polisi wanita yang ditugaskan mendirikan basis pertahanan di Bukittinggi.
Setelah kedaulatan Indoensia diakui oleh Belanda, keenam polisi wanita tersebut kemudian kembali menempuh pendidikan ke SPN Sukabumi dan pada tahun 1951 mereka lulus hingga menjadi inspektur polisi.
Kelahiran Polwan sendiri membuktikan jika proses memperoleh kedulatan di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh kaum pria. Polwan dengan demikian bukti emansipasi wania dan tidak adanya diskriminasi gender.