Djawanews.com – Jika selama pemerintahan Orde Lama, Jenderal Soeharto tidak diperhitungkan sama sekali, pasca Peristiwa 30 September 1965 (Gestapu) ia muncul menjadi sosok superhero.
Memang, ketika langsung mengadili Soeharto sebagai dalang di balik peristiwa Gestapu tidak serta merta dibenarkan. Hal tersebut lantaran skenario tersebut sangatlah kompleks dan penulis yakin jika instrumen tersebut tidak hanya dibuat oleh satu orang saja.
Selain itu, bukti sejarah juga belum 100 persen membuktikan siapa saja dalang di balik Gestapu, dan selama ini baru sebatas potongan-potongan kesaksian dari beberapa saksi kunci saja. Anggap saja Soeharto adalah Jenderal yang “aji mumpung” pada waktu itu.
Historia (dan beberapa media sebelumnya) menulis jika Jenderal Soeharto adalah orang yang dekat dengan Untung (pemimpin Cakrabirawa yang memerintahkan menculik para Jenderal). Suharto pula diyakini bertemu Latief (koordinator Gestapu) pada 30 September 1965.
Beberapa asumsi kemudian menyatakan jika Soeharto adalah satu-satunya Jenderal yang paling siap dalam rangka memanfaatkan momen Gestapu. Sejarawan Asvi Warman Adam, menyatakan jika Soeharto adalah sosok yang palng tenang dalam mengamati situasi pada waktu itu.
Setelah diberi mandat Presiden Soekarno menenangkan keadaan, Soeharto pula orang yang kemudian mengumumkan jika PKI berada di balik pembunuhan para jenderal. Hal tersebut yang membuat anggota dan orang yang loyal dengan PKI “halal” darahnya pada waktu itu.
Selanjutnya adanya Surat Perintah 11 Maret 1966 juga masih menjadi teka-teki. Banyak pihak yang menganggap jika surat tersebut adalah kunci bagi Soeharto untuk mengambil alih kendali.
Meskipun pada waktu itu Sukarno masih memiliki banyak massa dan loyalis untuk merebut kembali kekuasaan, namun tampaknya seperti pepatah Jawa beliau “Narima ing Pandum” atau menerima segala keadaan.
Bukan tanpa alasan Sukarno memilih berdiam diri, bisa saja beliau tidak menginginkan perang saudara terjadi di Indonesia yang umurnya masih sangat muda pada waktu itu.
Sudah 50 tahun lebih Gestapu lewat, namun hingga kini noda merah masa lalu tersebut masih saja dijadikan sebagai alat untuk meraih kepentingan politik dan memecah belah masyarakat. Rekonsiliasi? Ah, jangan-jangan hoaks juga seperti isu Dewan Jenderal...