Djawanews.com – Hari ini (21 Maret 2020) merupakan peringatan Hari Hutan Sedunia (International Day of Forests ) yang ke-8. Perayaan ini ditetapkan oleh PBB dalam resolusi PBB 67/200 pada 21 Desember 2012 dengan tujuan untuk mengingatkan kita bahwa hutan adalah bagian penting dari kehidupan manusia yang harus diperhatikan dan dirawat.
Hutan merupakan lokasi resapan air hujan. Ketika hujan terjadi, air masuk ke lapisan tanah, kemudian ditampung dan disimpan oleh akar-akar pohon. Air tersebut tersimpan di lapiran tanah dan menjadi sumber air yang bagus untuk kehidupan semua makhluk. Biji-biji tumbuh menjadi pohon untuk kemudian memberikan manfaat yang lebih banyak bagi kehidupan.
Seperti yang sudah disebutkan, akar pohon mampu menjaga stok air. Selain itu, akar pohon juga mampu menyaring air secara alami sehingga kualitasnya baik untuk dikonsumsi manusia. Akar Pohon juga mampu mengikat tanah agar tidak terjadi longsor atau erosi ketika terjadi hujan deras.
Tidak hanya akar, seluruh bagian tumbuhan di hutan memiliki peran yang penting. Tumbuhan, terutama daun, adalah bagian dari rantai makanan yang terkait dengan kehidupan manusia. Untuk bagian lain, tumbuhan di hutan mampu memproduksi kayu dan hasil perkebunan lain yang berperan dalam perputaran roda ekonomi. Dengan catatan, harus dikelola secara tepat dan bijak.
Dalam bidang klimatologi, hutan menyumbang oksigen sekaligus menyerap karbondioksida dan gas rumah kaca lain yang berbahaya bagi manusia dan kehidupan secara umum. Tanpa adanya pengendalian gas rumah kaca, iklim di dunia bisa mengalami kekacauan—yang lebih parah.
Hutan juga menjadi tempat tinggal dari berbagai jenis binatang yang memiliki perannya masing-masing terhadap kehidupan, seperti penyerbuk bunga, penggembur tanah, penghasil daging, pengendali hama, dan masih banyak lagi. Dengan banyaknya peran hutan bagi kehidupan, tidak heran jika kita—manusia—harus memperhatikan, merawat, dan mencintai hutan. Namun, apakah hal tersebut telah dilakukan dengan baik?
Penghasil Oksigen Menjadi Penghasil Asap
Akhir-akhir ini hutan di berbagai wilayah Indonesia sering mengalami kebakaran, seperti di Aceh, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. “Bencana” kebakaran pun mendatangkan bencana asap yang berpotensi menimbulkan bencana lebih besar—rusaknya kualitas udara dan perubahan iklim.
Menurut data yang didapat oleh Media Indonesia, sejak Januari hingga Maret 2020 telah terjadi 29 kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Bintan, Kepulauan Riau. Dari data lain, sepanjang Februari 2020 telah terjadi 52 kasus karhutla di Aceh dengan total luas lahan 103 hektare, dikutip dari kumparan.
Ini baru dua kasus di dua bulan terakhir. Bisa dibayangkan betapa banyaknya hutan dan luas lahan yang telah direnggut si jago merah. Betapa banyaknya efek positif hutan yang musnah. Betapa banyak hewan yang mati dan kehilangan sarang.
Ironisnya, sebagian besar dari kasus kebakaran tersebut terjadi secara tidak alami—dibakar. Ya, manusialah yang membakar hutan-hutan tersebut demi kepentingan pihak tertentu. Dikutip dari katadata.co.id, Jakowi menyebut bahwa 99% kasus kebakaran hutan yang telah terjadi disebabkan oleh ulah manusia dengan motif ekonomi. Tindakan tersebut menyebabkan kebakaran 80% luasan hutan serta lahan.
“Land clearing yang paling murah itu memang lewat pembakaran,” ungkap Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Karhutla Tahun 2020 di Istana Negara, Jakarta pada Kamis (06/02/2020).