Djawanews.com – Pers memegang peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Mereka memperjuangkan apa yang seharusnya dikatakan kepada rakyat dan menyuarakan suara rakyat kepada penguasa. Pentingnya pers dalam kehidupan bernegara menjadikan kedudukan pers sangat dipertimbangkan. Bahkan, Indonesia memiliki Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari.
Hari Pers Nasional dan PWI
Hari Pers Nasional didasarkan pada hari jadi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Keputusan tersebut diperkuat dengan adanya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 5 Tahun 1985.
Dilansir dari website resmi, PWI dibentuk sebagai wadah bagi aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia untuk ikut berjuang mempertahankan RI dari ancaman kembalinya penjajah. PWI juga jadi lambang bagi kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia.
Titik awal bermula pada 9 dan 10 Februari 1946. Pada saat itu, wartawan dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul dan mengadakan sebuah pertemuan di Solo. Hari itu jadi hari pertama PWI mengadakan kongresnya.
Dipilihnya Solo menjadi titik kumpul PWI pertama juga bukan tanpa alasan. Margiono, Ketua Umum PWI Pusat periode 2018 -2023, sempat membagikan pengalamannya saat menghadiri Sarasehan Nasional bertema ‘Pers Kebangsaan dan Pembangunan Era Digital’ pada 27 September 2018 lalu.
“Kenapa kita Kongres di Solo, itu karena Solo merupakan tempat lahirnya persatuan wartawan pertama di Indonesia, tepatnya dideklarasikan di tempat yang sama di Gedung Monumen Pers ini. Walaupun dulu gedungnya tidak sebagus ini pada saat Kongres pertama kali dilaksanakan,” kata Margiono yang dikutip djawanews.com dari website PWI.
Bicara Pers, Bicara Kode Etik
Membicarakan pers tak luput dari pembicaraan tentang profesi wartawan. Dalam perkembangannya, wartawan sebagai pewarta berita memiliki berbagai macam wadah media. Tidak seperti dulu yang terbatas pada media cetak, kini wartawan bisa dengan leluasa mewartakan berita melalui media elektronik.
Dunia pers sedang mengalami transisi antara media cetak dan media elektronik. Perpindahan antar keduanya juga berpengaruh pada hal-hal yang terkait jurnalisme, termasuk dengan etika media.
Etika media secara kasar dapat dipahami sebagai nilai tindakan yang dilakukan oleh para pekerja media dalam memproduksi berita untuk disiarkan di berbagai jenis media. Etika media tidak hanya terbatas pada profesi wartawan saja, namun kepada semua orang yang menggunakan media untuk menyampaikan informasi, termasuk media sosial.
Pada wartawan, etika media memiliki aturan yang tertuang dalam kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik jadi pedoman bagi para wartawan untuk menjamin kemerdekaan pers sekaligus memenuhi hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar.
Agar wartawan tetap profesional dan publik dapat menaruh kepercayaan kepada mereka, kode jurnalistik ini harus ditegakkan.
Merujuk dewanpers.or.id, kode etik jurnalistik memiliki 11 pasal yang menjadi pedoman operasional wartawan. Kesebelas pasal tersebut yakni sebagai berikut.
1. Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
2. Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
3. Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
4. Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
5. Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
7. Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
8. Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
9. Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
10. Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
11. Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Kode etik di atas dibuat agar menjadi pedoman bagi para wartawan dalam menyampaikan berita. Namun, munculnya media elektronik yang beragam membuat batas jurnalisme jadi kabur.
Seperti yang diketahui, hasil jurnalistik wartawan mengalami seleksi ketat sebelum dimuat ke media. Selain itu mereka juga terikat dengan aturan-aturan tertentu dalam melaksanakan tugas.
Dari permasalahan itu kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan baru semacam, apakah warga yang sering menulis berita di media sosial juga bisa disebut sebagai wartawan atau tidak? Jika iya, apakah mereka harus mentaati kode etik jurnalistik? Terlepas dari batas-batas tersebut, Dewan Pers harus berperan aktif dalam mengatur media elektronik yang menampilkan produk jurnalistik. Aturan perlu dibuat dan diberlakukan agar kode etik jurnalistik dapat ditegakkan tidak hanya dalam media cetak, namun juga media elektronik.