Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan organisasi mahasiswa Islam yang paling tua dan masih eksis hingga saat ini.
Organisasi yang didirikan dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia ini telah bertransformasi menjadi organisasi mahasiswa yang besar dan kuat dan memiliki ribuan kader yang tersebar di berbagai universitas di seluruh Indonesia.
Sejarah Berdirinya HMI
HMI berdiri pada 5 Februari 1947, tepat pada hari ini 73 tahun yang lalu atas prakarsa dari Lafran Pane dan 14 orang lainnya yakni Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah KH Admad Dahlan), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang, pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu).
Selain itu, lima orang lainnya yakni Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Yogyakarta) Sulkarnaen (Bengkulu) dan Mansyur.
Mereka mendirikan organisasi mahasiswa Islam ini di ibukota perjuangan Republik Indonesia Yogyakarta. Saat itu, Belanda kembali mengancam kedaulan RI.
HMI dirikan karena organisasi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta alias PMY dianggap tidak lagi menampung aspirasi keagamaan.
Saat itu, Soetan Sjahrir yang berhaluan kiri masih menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia. Oleh sebab itu, tak heran jika sebagian kader PMY dipengaruhi oleh semangat sosialisme. Syahrir Sendiri merupakan tokoh dari Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Asal tau saja, para pendiri HMI tidak berasal dari satu universitas, melainkan dari kampus yang berbeda-beda. Ada yang dari Sekolah Tinggi Teknik, Sekolah Tinggi Islam (STI) serta Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada.
Saat itu, Lafran Pane adalah mahasiswa di Fakultas Hukum STI (sekarang Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia/UII).
Ia dan rekan-rekannya mendirikan perhimpunan mahasiswa pada saat jam kuliah Tafsir Husein Yahya. Yang menarik, Lafran tidak memulai dengan tangan kosong. Ia datang dengan Anggaran Dasar yang sudah jadi.
Di masa Orde Lama, HMI sempat dianggap sebagai organisasi sayap dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Namun, Partai terbesar kedua setelah PNI di Pemilu 1955 ini dibubarkan oleh Soekarno karena dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatra.
Massa HMI semakin bertambah banyak setelah pusaran panas politik Indonesia 1965. Gerakan HMI yang berasaskan Islam dan bermusuhan dengan komunis, tumbuh subur dan anggotanya bertambah semakin banyak.
Di masa Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan Nurkholis Madjid alis Cak Nur, terjadi perbedaan pemikiran di dalam tubuh HMI. Situasi ini sangat wajar mengingat HMI adalah perhimpunan yang menampung mahasiswa dengan latar belakang yang bermacam-macam.
Akan tetapi, perbedaan itu akhirnya pecah juga. Sebagian kubu HMI mengingkan Pancasila sebagai azas tunggal. Belakangan, kelompok ini disebut sebagai HMI Dipo (merujuk pada alamat kantor yang terletak di jalan Diponegoro).
Kubu lain, ngotot mempertahankan azas Islam. Mereka membentuk Majelis Penyelamat Organisasi yang selanjutnya disebut HMI MPO.
Puncak perpecahan terjadi pada Kongres HMI ke-15 di Medan pada 1983. Kala itu, kubu yang menerima azas tunggal Pancasila keluar sebagai pemenang. Dan memang pada saat itu, penguasa Orde Baru memaksa semua organisasi menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal. Hingga kini, baik HMI Dipo maupun HMI MPO masih hidup sebagai organisasi ekstra kampus. Keduanya juga kerap terlibat dalam sejumlah aksi massa yang mengkritisi kebijakan pemerintah.