Wacana penguatan toleransi agaknya penting untuk dilakukan di Tanah Air. Terlebih Indonesia baru saja mengalami momen politik, yang dalam pelaksanaannya memainkan isu identitas untuk mendulang suara.
Meski tak terlihat secara kasat mata, dampak politik identitas benar-benar merusak persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki keberagaman. Untuk menguatkannya kembali, Hari Toleransi Internasional jadi momen yang tepat untuk menumbuhkan lagi persatuan dan kesatuan dalam masyarakat.
Hari Toleransi Internasional atau International Day for Tolerance diperingati setiap tanggal 16 November, yang pada tahun 2019 jatuh pada hari Sabtu. Hari internasional untuk bersikap toleransi telah dicetuskan sejak tahun 1996, artinya sudah berjalan selama 22 tahun.
Sejarah Hari Toleransi Internasional
Dalam situs resmi UNESCO, Hari Toleransi Internasional lahir saat HUT PBB yang ke-50. HUT PBB sendiri saat itu digelar pada tanggal 16 November 1995. Negara anggota UNESCO kemudian mengadopsi Deklarasi Prinsip-prinsip tentang Toleransi bahwa toleransi merupakan cara untuk menghindari ketidakpedulian.
“Toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya dunia yang beragam, bentuk ekspresi dan cara kita menjadi manusia,” bunyi cuplikan Deklarasi 1995 tentang toleransi.
Lahirnya Hari Toleransi dilatarbelakangi atas banyaknya kasus deskriminasi, kekerasan, dan berbagai ketidakadilan yang terjadi di berbagai negara. Untuk menghormati bentuk ekspresi serta keberagaman budaya, lahirlah deklarasi tersebut.
Meski deklarasi toleransi dilakukan pada tahun 1995, Majelis Umum PBB baru bisa menetapkan Hari Toleransi Internasional setahun setelahnya, yakni 16 November tahun 1996. Tahun tersebut jadi tahun pertama Hari Toleransi Internasional diadakan.
Ada banyak upaya yang dilakukan PBB untuk merumuskan bagaimana sikap toleransi dapat dibentuk. Merujuk pada situs United Nations Association-UK, ada tiga cara yang bisa dilakukan.
1. Pendidikan
Sikap Toleransi dapat tumbuh jika faktor pendidikan telah terbentuk. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya merujuk pada pendidikan formal saja, namun mencakup pengetahuan secara umum.
Ketidaktahuan masyarakat tentang perbedaan budaya, agama, dan etnis yang ada di sekitar dapat menyebabkan rasa tidak aman. Dengan adanya pengetahuan, diharapkan pemahaman masyarakat dapat lebih baik mengenal tradisi dan keyakinan yang berbeda serta mampu menerima mereka dengan lebih baik.
2. Regulasi dan Penegakkan Hukum
PBB menilai, negara perlu memiliki UU yang menindak tegas tindakan-tindakan intoleransi seperti ujaran kebencian, diskriminasi, dan SARA. Selain itu harus memiliki penegakkan hukum dan peradilan yang menjamin hak-hak para korban intoleransi.
3. Hentikan Stereotip Negatif
Stereotip mampu mengendalikan perilaku seseorang terhadap suatu permasalahan, termasuk yang berkaitan dengan keberagaman. Seseorang yang memiliki stereotip negatif terhadap keberagaman tentu akan berperilaku buruk dengan kelompok yang dianggapnya tak sama. Jadi, orang atau kelompok yang memiliki stereotip negatif didorong tidak menghakimi orang lain dengan cara generalisasi.
Di berbagai belahan dunia, toleransi masih dianggap menjadi senjata penangkal perpecahan. Bahkan muncul kajian, organisasi, dan berbagai sikap yang mencerminkan toleransi terhadap keberagaman.
Salah satu konferensi internasional juga memfokuskan sikap toleransi dalam kajian ilmiah mereka, yakni Konferensi Internasional Akademi Fikih Islam Tengah. Konferensi ini digelar di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), dan diselenggarakan oleh Departemen Urusan Islam dan Kegiatan Amal di Dubai (IACAD).
“Sesi ilmiah menyajikan beberapa makalah penelitian berharga yang menyajikan visi komprehensif dari konsep toleransi dalam Islam dan menyoroti kebutuhan sosialnya dan pengaruhnya terhadap masyarakat Muslim,” ujar Direktur Jenderal IACAD, Hamad Bin Al Shaikh Ahmed al-Shaibani yang dilansir di Emirates News Agency, Rabu (6/11).
Selain itu, gerakan nasional di Indonesia juga menyambut Hari Toleransi Internasional dengan berbagai kegiatan positif. Salah satu komunitas yang menyambut hari tersebut adalah Komunitas Penggerak Gusdurian Karawang.
Dilansir dari Tvberita, Komunitas Penggerak GUSDURIAN Karawang melakukan Safari Rumah Ibadah pada hari Rabu, 06 November 2019. Ketua komunitas, Ahmad Rohiman, mengatakatan bahwa pihaknya mengunjungi beberapa rumah ibadah, di antaranya Pura Agung Sangga Bhuwana, Klenteng Bio Tjou Soe Kong, dan GBI Cinangoh.
Sebagai negara yang memiliki beragam suku, agama, kebudayaan, Indonesia sempat memiliki sosok yang dianggap berhasil merangkul perbedaan tersebut, yakni Abdurrahman Wahid atau biasa disapa dengan Gus Dur. Gus Dur juga pernah berpesan kepada kita semua dan pesan tersebut masih relefan hingga sekarang. “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”