Djawanews.com – “Berlayar ke Depok di waktu pagi hari, sambil menulis lirik untuk lagu pop. Bilangnya begini, maksudnya begitu, kita abadi, yang fana itu waktu…. Aku tak ingin menangis; menerka gerimis. Di sepanjang lorong itu, aku tak ada nyali.. Oh Pak Sapardi,” potongan lirik lagu milik Jason Ranti itu hanya satu dari sekian banyak karya populer yang menggunakan maupun mereproduksi karya sastrawan, Sapardi Djoko Damono.
Di tangan salah seorang penyanyi balada paling diperhitungkan di skena musik independen tersebut, Sapardi hidup kembali. Lewat satir dan kepiawaian Jason Ranti menangkap gejala sosial, Sapardi dan potongan sajaknya kembali riak, kali ini mengisi warung tongkrongan anak STM, indekos, gigs-gigs paling “wangi” bahkan terculun sekalipun, warung kopi dan tentu saja di segala platform media sosial yang memutarkan nomor berjudul Lagunya Begini, Nadanya Begitu.
Percayalah, nama penyair satu ini selalu hidup nyaris di setiap fase peradaban. Tak terhitung karya populer maupun karya sastra yang berhutang dari potongan sajak pria kelahiran 20 Maret 1940 ini. Jika pun tidak mengenal namanya, Anda pasti tidak asing dengan potongan sajak cinta seperti:
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada” atau “Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi, tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, kau tak akan letih-letihnya kucari.” |
Maupun potongan frasa ikonik yang kemudian diadaptasi menjadi karya hingga meme segala rupa, macam Hujan Bulan Juni, Perahu Kertas, hingga Kita Abadi yang Fana itu Waktu.
Tak berlebihan, menempatkan Sapardi Djoko Damono sebagai salah satu penyair terpenting dan paling populer yang dimiliki Indonesia, setelah Chairil Anwar, WS Rendra dan Wiji Thukul.
Cinta Sapardi Djoko Damono yang sederhana
Menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Surakarta, kegandrungan Sapardi Djoko Damono pada puisi bermula sejak SMA. Sejak karyanya dimuat salah satu surat kabar di Semarang, Sapardi muda semakin menggebu-gebu merangkai kata.
Khazanah kesusastraannya lantas berkembang sejak Sapardi Djoko Damono hijrah ke Yogyakarta. Di fase ini, namanya kian melambung seiring sajak-sajaknya dimuat di berbagai media massa.
Kepiawaiannya merangkai kata, membuat banyak penerbit kepincut menerbitkan kumpulan tulisan Sapardi Djoko Damono, bahkan hingga hari ini. Salah satu karyanya yang terbesar, Perahu Kertas diganjar penghargaan Dewan Kesenian Jakarta. Pun kumpulan sajaknya, Sihir Hujan meraih Anugerah Puisi Poetra Malaysia.
Kini, lebih dari setengah abad usianya, tak terhitung jumlah sajak dan tulisan yang dihasilkan Sapardi Djoko Damono. Ia menulis nyaris di segala medium, baik puisi, esai, kritik sastra, cerpen, hingga terjemahan. Karya-karya Sapardi juga dialih bahasakan ke berbagai bahasa. Lebih dari itu, sajak-sajaknya diadaptasi para pelaku budaya lintas disiplin, seperti Dewi Lestari, Intan Paramadhita, Jason Ranti, AriReda, Melancholic Bitch hingga Teater Garasi.