Djawanews.com – Hari Kebebasan Pers Dunia diperingati setiap 3 Mei. Tanggal tersebut dipilih berdasarkan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1993.
PBB mengajak kepada dunia agar setiap 3 Mei memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers. Selain itu Hari Pers Sedunia diperingati untuk memberikan penghormatan kepada jurnalis yang meninggal dan mengalami serangan demi menjalankan profesinya.
Serangan terhadap para jurnalis patut mendapat perhatian, tak peduli dalam bentuk apa, atau seberapa besar dampaknya. Serangan apapun tetap tak bisa dibenarkan.
Kebebasan Pers di Tengah Pandemi
Tahun 2020 banyak hal terjadi, namun pandemi Covid-19 jadi sesuatu yang sangat menyulitkan. Jurnalis memegang peranan penting dalam perjalanan dunia melewati masa sulit seperti sekarang. Tak hanya menyampaikan informasi, jurnalis juga memenuhi fungsinya sebagai pengawas.
Sayangnya, dalam melaksanakan tugas, para jurnalis justru mendapat perlakuan tak adil. Zubair Ahmed misalnya, seorang jurnalis lepas di wilayah Andaman, India.
Zubair ditangkap hanya karena bertanya lewat Twitter; mengapa satu keluarga yang berisi empat orang harus dikarantina hanya karena mereka berbicara dengan seseorang yang positif Covid-19 via telepon? Atas pertanyaan itu Zubair ditangkap dan didakwa oleh polisi India karena dianggap melanggar peraturan.
Tak hanya terjadi di negara berkembang, intimidasi terhadap jurnalis juga terjadi di Russia yang dianggap sebagai negara maju. Surat kabar Novaya Gazeta diminta untuk menghapus artikel yang berisi kritikan atas tindakan yang diambil di Republik Rusia Chechnya.
Dalam artikel tersebut Elena Milashina, si penulis, mempertanyakan bagaimana kesiapan rumah sakit negara dalam memerangi Covid-19. Perintah penghapusan datang dari regulator media negara itu setelah ada serangkaian ancaman kekerasan yang diterima jurnalis.
Kekerasan juga datang dari Presiden AS Donald Trump dalam bentuk verbal yang menyerang media dan jurnalis saat konferensi pers COVID-19. Hal itu ia lakukan dalam upaya untuk menangkis kritik yang dilontarkan oleh awak media.
Jurnalis memegang peranan penting dalam memantau arus informasi. Bahkan saat ini peran jurnalis semakin penting. Sayangnya tidak semua lembaga benar-benar paham dan sadar bahwa pers memiliki kebebasan demi keterbukaan informasi.
Kebebasan Pers di Indonesia
Lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF) baru saja mengeluarkan catatan Indeks Kebebasan Pers dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Melalui rsf.org, mereka menempatkan Indonesia dalam peringkat 119 pada 2020. Sedangkan pada tahun 2019 Indonesia berada di posisi 124. Meski naik lima peringkat dari tahun sebelumnya, kebebasan pers di era Presiden Jokowi patut dikoreksi.
RSF menyoroti pembatasan akses media ke Papua Barat, di mana kekerasan jurnalis lokal justru meningkat. Wartawan dari media asing yang mencoba mendokumentasikan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi malah ditangkap oleh aparat.
Parahnya lagi, Kominfo bahkan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat di saat ketegangan terjadi. Pemutusan ini dianggap sebagai pembatasan informasi di wilayah tersebut.
“Kelompok agama juga mengancam hak media untuk memberi informasi. Banyak wartawan mengatakan mereka menyensor diri mereka sendiri karena ancaman dari undang-undang anti-penistaan agama dan Undang-Undang tentang “Informasi dan Transaksi Elektronik”,” tulis RSF dalam laman resminya yang dikutip Djawanews.
Dari pemaparan singkat di atas, nampaknya konsep kebebasan pers belum sepenuhnya dipegang teguh, bahkan oleh lembaga pemerintahan sekalipun. Jika hal itu terus dibiarkan, dikhawatirkan pembatasan informasi akan terus terjadi dan penganiayaan terhadap jurnalis terus belanjut.