Djawanews.com – Siapa sangka, di balik pemandangan pantai yang terhampar, dan mitos-mitos yang menjaga keasriannya, Gunungkidul telah berusia ratusan tahun. Karena hari ini, 27 Mei 2020, kabupaten itu memasuki usia ke-189 tahun.
Untuk mencapai usia tersebut, perjalanan kabupaten paling Selatan di Yogyakarta ini amat panjang. Dimulai saat Indonesia masih berbentuk kerajaan.
Sejarah Kabupaten Gunungkidul
Ada banyak versi yang menceritakan bagaimana Gunungkidul berdiri. Seperti halnya yang dilansir situs resmi gunungkidulkab, sejarah Gunung Kidul dimulai saat wilayah itu masih berupa hutan belantara.
Ada sebuah desa kecil yang dihuni beberapa orang yang melarikan diri dari Majapahit. Desa tersebut adalah Desa Pongangan. Dipimpin oleh R. Dewa Katong yang merupakan saudara Raja Brawijaya.
Dewa Katong tak memimpin desa itu selamanya. Ia pindah ke desa Katongan yang terletak 10 km ke arah Utara. Posisinya diganti oleh oleh puteranya yang bernama R. Suromejo.
Seperti ayahnya, R. Suromejo juga tak lama memimpin karena harus pindah ke desa Karangmojo. Begitu seterusnya hingga desa-desa di Gunungkidul terus bertambah dan berkembang. Sayangnya, perkembangan ini justru menimbulkan masalah.
Dikutip dari situs resmi Pemkab Gunungkidul, perkembangan di wilayah itu didengar oleh Raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang saat itu berkedudukan di Kartosuro. Ia merasa bahwa wilayah yang ditempati R. Dewa Katong dan anaknya masih dalam kekuasaannya.
Untuk memastikan kabar tersebut, Raja mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso untuk memeriksanya.
Ki Tumenggung Prawiropekso memberi nasihat kepada R. Suromejo saat keduanya bertemu. Ia menyarankan agar Suromejo meminta izin kepada raja Mataram karena wilayah itu masih dalam kekuasaan sang Raja.
Perundingan Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso dan R. Suromejo tak berakhir baik dan berujung pada peperangan. R. Suromejo tewas membela wilayahnya, begitu pula dengan 2 anak dan menantunya dan menyisakan satu anaknya yang lain.
Adalah Ki Pontjodirjo yang tersisa dan memilih untuk menyerahkan diri kepada Raja. Penyerahan dirinya justru menjadikannya sebagai Bupati Gunungkidul I.
Jabatan sebagai Bupati Gunungkidul I tak lama ia rengkuh. Pada 13 Mei 1831 terjadi penentuan batas-batas daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II.
Dari hasil pembagian diputuskan bahwa Gunungkidul (selain Ngawen sebagai daerah enclave Mangkunegaran) jadi kabupaten yang dikuasai oleh Kasultanan Yogyakarta. Kemunculan wilayah itu dibarengi dengan terbentuknya kabupaten lain di Yogyakarta, yakni Sleman, Kalasan, dan Bantul.
Pembagian ini juga diinformasikan oleh Mr R.M Suryodiningrat dalam bukunya yang berjudul Peprentahan Praja Kejawen. Dikuatkan lagi dengan buku De Vorstenlanden (1931) yang ditulis oleh G.P Rouffaer dan B.M.Mr.A.K Pringgodigdo dalam bukunya Onstaan En Groei van het Mangkoenegorosche Rijk.
”Ing tahoen 1831 Nagoragung sarta Mantjanagari-nipoen Ngajogjakarta sampoen dipoen perang-perang, Mataram dados 3 wewengkon, dene Pangagengipoen wewengkon satoenggal-satoenggalipoen dipoen wastani Boepati Wadono Distrik kaparingan sesebatan Toemenggoeng, inggih poeniko Sleman (Roemijin Denggong), Kalasan serta Bantoel.”
Yang artinya, di tahun 1831 Mantjanagari-nya, Yogyakarta sudah dibagi-bagi, Mataram jadi 3 bagian, daerah lainnya disebut oleh Bupati diberi sebutan Tumenggung, yaitu Sleman (dulunya Denggung), Kalasan, serta Bantul.
Informasi itu juga telah ditetapkan pada masa pemerintahan awal Kabupaten Gunungkidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan. Gunungkidul sendiri lahir pada hari Jumat Legi, 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758.
Dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No. 70/188.45/6/1985 tentang penetapan hari, tanggal, bulan, dan tahun. Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul ditandatangani bupati pada saat itu yakni Drs KRT Sosro Hadiningrat dengan titimangsa 14 Juni 1985.