Djawanews.com—Siapa yang tidak mengenal Jenderal Gatot Subroto, namanya digunakan sebagai nama sebuah jalan besar di kawasan Jakarta dan rumah sakit elit Indonesia. Dibalik sikapnya yang terkenal tegas dan keras, ternyata hatinya selembut salju. Gatot Subroto dikenal senang membantu masyarakat bawah dan melindungi umat Budha sebagai kelompok minoritas kala itu.
Sejarah Hidup dan Karir Gatot Subroto
Gatot Subroto lahir pada 10 Oktober 1909 di Jatilawang, Purwokerto. Ia merupakan putra dari Sayid Yudoyuwono, seorang Guru Tweede Inlandsche di Jatilawang. Karena posisi ayahnya yang cukup disegani pemerintah Belanda kala itu, Gatot bisa bersekolah di sekolah elit mulai dari Frobelschool (Taman Kana-kanak) dilanjutkan ke Europe Lagere School (ELS) Banyumas.
Namun karena wataknya yang keras dan senang berkelahi layaknya anak Banyumas sejati, Gatot Subroto kecil dikeluarkan dari ELS. Tidak tanggung-tanggung ia berkelahi dengan anak Residen Banyumas. Akhirnya ia melanjutkan sekolah dasarnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cilacap, yang gengsinya dibawah ELS.
Selepas sekolah dasar, Gatot Subroto tidak mau sekolah lagi dan lebih memilih bekerja. Ia sempat bekerja sebagai pegawai kantor, namun tidak betah. Akhirnya ia masuk sekolah militer, sekolah yang cocok untuk wataknya yang keras. Gatot Subroto masuk Kaderschool di Magelang pada Desember 1928.
Sebagai lulusan HIS, Gatot Subroto bisa jadi kopral atau Sersan. Pada waktu itu militer kolonial disebut Koninklijk Nederladsch Indiesche Leger (KNIL). Dan akhirnya pada tahun 1930an Gatot lulus dengan pangkat Sersan kelas dua atau Sersan Dua.
Gatot mulai menjalani tugasnya sebagai seorang KNIL di Padang Panjang, Sumatera Barat. Sekitar lima tahun yang ia bertugas di daerah ini. Tugas dinasnya kemudian berlanjut di Marsose di Jatinegara setelah mendapatkan pelatihan kepolisian.
Selain itu Gatot Subroto juga pernah ditempatkan di daerah Bekasi dan Cikarang. Di daerah ini rakyat jelata disengsarakan oleh para tuan tanah sehingga konflik pun tak terelakkan. Di sinilah nampak kelembutan hati Gatot yang tidak jarang membantu keluarga para perusuh yang dipenjarakan.
Meskipun di bawah pemerintah Belanda, Gatot Subroto tidak pernah tunduk kepada Belanda. Tidak heran jika Gatot dijuluki ‘Sersan Gila’ oleh komandannya. Hal ini terbukti ketika ia ditugaskan ke Ambon untuk menghalau pasukan Jepang dan ketika Belanda, Gatot bersama teman-temannya yang lain meninggalkan pasukan dan pulang ke Banyumas.
Di Banyumas, pada masa pendudukan Jepang, Gatot Subroto dipercaya Bupati Banyumas, Gandasubrata, untuk menangani ketertiban sebagai Kepala Polisi. Setelah itu pada 1943 Gatot bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) sampai menjadi Daidanco (komandan batalyon).
Di awal kemerdekaan, batalyon PETA yang dipimpinnya ikut masuk ke Tentara Keamanan Rakyat. Gatot pernah menjadi Panglima Divisi 2/Gunung Jati. Komandan Polisi Militer. Dia pernah menjadi Panglima di Indonesia Timur.
Di masa Revolusi, dia pernah berpangkat Jenderal Mayor, tetapi karena turun lagi menjadi Kolonel, ketika ada penurunan pangkat besar-besaran bagi semua anggota TNI. Pada 1953, Gatot mundur dari ketentaraan dan tinggal di Ungaran. Gatot dipanggil kembali pada 1956 untuk menjadi Wakil KSAD. Pangkat Terakhirnya Letnan Jenderal.
Sebagai komandan, Gatot Subroto dikenal berwatak keras oleh bawahannya. Ia suka memanggil bawahannya dengan sebutan ‘monyet’. Namun sebenarnya Gatot berhati lembut. Ia dikenal sebagai pelindung bagi umat Budha yang paling minoritas kala itu meskipun ia sendiri seorang muslim.
Karena kecintaannya kepada agama Budha Gatot Subroto hadir dalam upacara-upacara keagamaan Budha, antara lain pada upacara-upacara Waisak di Stupa Borobudur. Selain itu, kepada umat Budha Semarang juga pernah dihadiahkan sebuah patung Budha besar berlapis emas seberat satu setengah ton yang berasal dari Muangthai.
Bahkan ketika Gatot Subroto meninggal pada 11 Juni 1962, sesuai keinginannya Gatot dimakamkan dengan upacara agama Budha di desa Mulyoharjo, Gunung Ungaran. Seminggu setelah kematiannya, pada 18 Juni 1962, Gatot dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.