Bagi sebagian orang, nama Driyarkara mungkin tidak begitu populer. Padahal ia adalah salah satu filsuf besar yang pernah dimiliki Indonesia.
Yang mengenalnya boleh jadi hanya kalangan intelektual, pendidik, dan kalangan gereja katolik. Selain menjadi seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dikenal sebagai Jesuit (Serikat Yesus) dan pendidik.
Filsuf asal Purworejo ini diabadikan menjadi nama perguruan tinggi filsafat di Jakarta yakni Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara yang didirikan pada 2 Februari 1969 atau dua tahun setelah Nicolaus Driyarkara meninggal.
Kisah Nicolaus Driyarkara
Pastor Nicolaus Driyarkara lahir di Kedungbah, Kaligesing, Purworejo, 13 Juni 1913.
Driyarkara terlahir dengan nama Soehirman. Pendidikan sekolah dasarnya ditempuh di Cengkarep dan berlanjut ke HIS Bruderan.
Selepas dari HIS, Soehirman melanjutkan pendidikan di Kolese Muntilan, lalu ke Seminari Yogyakarta dan berlabuh ke negeri Belanda untuk memperdalam ilmu teologi.
Pada 6 Januari 1947, Driyarkara didapuk menjadi imam oleh Uskup Soegijopranoto. Selanjutnya di tahun 1950-1952 Driyarkara mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi doktoral filsafatnya di Universitas Gregoriana, Roma.

Nicolaus Driyarkara (Istimewa)
Pada 1952, Driyarkara mendapat gelar doktor di bidang filsafat dengan desertasi bertajuk Participationis Cognitio In Existential Dei perapeinda Secundum Malebranche Utrum Partem Hebeat (Peranan Pengetian Partisipasi dalam Pengertian tentang Tuhan Menurut Malebranche).
Setelah lulus, Driyarkara kemudian kembali ke Indonesia dan mengajar di Kolese Ignatius Yogyakarta dan ikut serta mendirikan IKIP Sanata Dharma dan ditunjuk sebagai rektor.
Tak hanya itu, ia juga diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa di Universitas Indonesia dan Universitas Hassanudin pada 1960.
Sebagai seorang filsuf, Driyarkara sangat memperdulikan nasib bangsanya. Semasa hidupnya, ia memiliki perhatian khusus terhadap persoalan pendidikan dan humanisme.
Ajaran pokoknya ‘homo homini socius’ (manusia adalah kawan bagi sesama) ditempatkan untuk menggugat, mengkritik dan menjadi jalan keluar terhadap tindakan yang mengarah pada dehumanisasi; prilaku yang saling menindas, memangsa dan saling membenci sesamanya.
Menurutnya, manusia tidak akan pernah ‘memanusiakan manusia’ tanpa adanya pendidikan.
Baginya, manusia dengan keahlian saja tidaklah cukup. Keahlian manusia harus diiringi dengan akhlak dan karakter untuk mengubur sisi-sisi kebinatangan dalam diri manusia.
Semasa hidupnya, Driyarkara kerap membuat tulisan-tulisan yang membahas persoalan actual-mendesak yang dihadapi oleh manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Karya-karyanya sering menggiring pembaca untuk masuk dalam perenungan filosofis.
Nicolaus Driyarkara meninggal di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah pada 11 Februari 1967 atau tepat pada hari ini 53 tahun yang lalu dalam usia 53 tahun.
Melalui tulisan, pidato, ceramah dan kuliah, Driyarkara suka menggugah masyarakat Indonesia untuk mencari jati dirinya.
Misalnya, saat demonstrasi mahasiswa yang terjadi di tahun 1966, Driyarkara menjadi pembela pertama hak mahasiwa dan pelajar untuk melakukan aksi massa di tengah keadaan kritis dan buntu. Ia menerobos kebuntuan melalui gagasan filosofis.