Djawanews.com – Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei. Apa Anda tahu sebabnya? Pada tanggal tersebut Bapak Pendidikan Nasional (ada yang menyebut Bapak Pendidikan Indonesia) Ki Hadjar Dewantara dilahirkan, tepatnya pada 2 Mei 1889. Sosok inilah yang disebut-sebut memiliki peran penting terhadap pendidikan Indonesia.
Sayangnya, kali ini kita tidak akan membahas pendidikan Indonesia terkait cita-cita Ki Hadjar Dewantara. Kita juga tidak akan membahas kurikulum yang dinilai terbelakang atau Belajar Merdeka—program Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kali ini kita akan membahas ketidakpercayaan orang tua terhadap guru di sekolah.
Bersama Guru atau Bersama Orang Tua?
Beberapa waktu terakhir, jumlah orang tua yang melaporkan guru ke kepolisian cukup banyak. Para orang tua menilai para guru telah melakukan tindak kekerasan terhadap murid di sekolah. Para orang tua melaporkan para guru sebagai bentuk perlindungan terhadap anak di sekolah. Bahkan, ada orang tua yang memiliki bentuk “perlindungan” berupa labrakan langsung pada guru di sekolah. Dari kasus-kasus tersebut, tampaklah bahwa para orang tua tak lagi percaya terhadap cara guru dalam mendidik.
Kita bisa menilai, inilah bukti pendidikan Indonesia masih menerapkan pola penjajah Belanda. Sebaliknya, kita juga bisa berargumen bahwa tindakan guru belum tentu tindak paksaan atau kekerasan, melainkan ketegasan. Kemudian, siapa yang perlu diluruskan? Orang tua? Guru? Atau sistem pendidikannya?
Kita simpan saja pertanyaan tersebut. Kini kita akan melihat suasana pendidikan ketika polanya sedang bergeser seperti sekarang. Selama masa pandemi covid-19, para pelajar diharuskan belajar di rumah. Berarti, intensitas belajar bersama guru sangatlah sedikit, atau bahkan tidak ada. Sebagian besar waktu pelajar adalah bersama orang tua. Kemudian, apakah ini membuat para pelajar merasa nyaman dan tenang dalam proses belajar?
Seto Mulyadi atau Kak Seto, psikolog anak, menerima laporan yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut. Informasi dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) yang diberikan pada Kak Seto menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran di rumah selama masa pandemi membuat anak-anak stres.
“Dari beberapa laporan yang kami terima dari LPAI, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, banyak anak-anak yang mengalami stres, tertekan,” ungkap Kak Seto di Gedung BNPB, Jakarta Timur, Sabtu (25/04/2020).
Menurut Kak Seto, salah satu penyebab stresnya anak-anak adalah tidak bisa belajar seperti ketika di sekolah. Ini terkait dengan kondisi orang tua yang masih terus beradaptasi.
“Para orang tua sekarang harus menjadi guru tiba-tiba di dalam rumah, dan kemudian mencoba untuk menjelaskan menerangkan, memaksakan suatu hal dicapai oleh putra-putrinya sendiri sehingga akhirnya yang muncul adalah anak-anak tertekan,” jelas Kak Seto.
Di dalam data LPAI dan analisis Kak Seto tersebut terdapat jawaban-jawaban unik terkait persoalan yang kita bahas. Terlepas dari pola pendidikan yang diterapkan di Indonesia, sudah tepatkah sikap orang tua terhadap guru sebagai salah satu agen pendidikan?