Pasca Kemerdekaan Indonesia (17/08/1945), Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengukuhkan kedaulatan Indonesia di mata dunia. Pengukuhan dilakukan dalam berbagai sektor, salah satunya pengukuhan wilayah kelautan NKRI.
Seperti yang diketahui, wilayah Indonesia saat ini terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan. Bukan sebuah kebetulan bentuk wilayah Indonesia seperti yang saat ini terlihat. Berbagai usaha perlu dilakukan untuk mengukuhkannya di mata dunia, salah satunya adalah melalui Deklarasi Djuanda.
Deklarasi Djuanda dilakukan pada 13 Desember 1957. Deklasari ini jadi tonggak sejarah bagi perjuangan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan dalam mematenkan kedaulatan wilayah NKRI. Nama Djuanda sendiri diambil dari nama salah satu tokoh penting dari deklarasi tersebut, yakni Perdana Menteri terakhir Indonesia, Ir. H. Djuanda Kartawidjaya.
Sejarah Deklarasi Djuanda
Bukan sebuah rahasia jika laut Indonesia sempat menjadi jalur perdagangan yang dilalui kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Jaringan perdangan itu terbentuk karena rempah-rempah memiliki cakupan pasar yang sangat luas. Di sisi lain, Indonesia menjadi negara penghasil rempah-rempah terbesar saat itu.
Jauh sebelum dilakukannya Deklarasi Djuanda, ada prinsip kebebasan laut yang berlaku di laut internasional. Prinsip ini dicetuskan oleh seorang ilmuwan dari Belanda yang bernama Hugo de Groot (Grotius). Prinsip ini yang kemudian berimbas pada penjajahan bangsa Eropa di Indonesia.
Dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum (1609), Hugo de Groot menuliskan bahwa laut adalah wilayah internasional dan semua bangsa bebas menggunakannya untuk berlayar dan berdagang. Kebebasan ini yang kemudian mampu memecah belah Indonesia.
Lalu pada abad ke-20, munculah Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO). Menurut Wikipedia, ordonansi ini berpengaruh pada batasan wilayah NKRI pada saat itu.
TZMKO mengatur pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya karena setiap pulau hanya boleh mengklaim laut di sekelilingnya sejauh 3 mil dari garis pantai. Selebihnya, kapal asing—baik kapal perang atau kapak dagang—boleh dengan bebas melayari laut di sekitar pulau tersebut.
Peraturan laut internasional ini masih berlaku setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Sebagai negara muda, pembenahan mulai dilakukan, pengakuan di mata dunia mulai dicari, termasuk usaha pengukuhan wilayah NKRI di mata Belanda dan negara lain di dunia.
Kendala yang didapat Indonesia atas pengukuhan teritori laut adalah adanya TZMKO. Dengan adanya peraturan laut internasional itu, Indonesia tak memiliki hak mengusir kapal yang berlayar di sekitar Indonesia, kecuali mereka melanggar batas yang telah ditentapkan.
Rencana Indonesia mengubah Ordonansi Hindia Belanda (TZMKO) baru dicanangkan pada 1956. Saat itu, pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada Pemerintah pusat untuk segera mengubah hukum laut tersebut.
Departemen Pertahanan Keamanan RI beralasan, peraturan warisan kolonial itu tidak mampu menjamin keamanan wilayah Indonesia. Terlebih Indonesia baru mendapatkan kemerdekaannya dari Belanda. Desakan yang dipelopori Departemen Pertahanan Keamanan ternyata didukung oleh semua pihak dari Indonesia.
Langkah pertama Indonesia dalam memperjuangkan cita-cita kesatuan wilayah Indonesia adalah melalui Konverensi PBB pertama. Hal ini dikatakan oleh Prof. DR. Awaloedin Djamin yang dikutip dalam sebuah tulisan yang diunggah di Tirto dengan judul artikel Deklarasi Djuanda dan Ikhtiar Menyatukan Laut Indonesia.
Konverensi PBB pertama saat itu membicarakan tentang Hukum Laut di Jenewa yang dilaksanakan pada Februari 1958. Namun, karena menimbang pihak oposisi yang akan sulit dikalahkan, Indonesia akhirnya menarik usulan mereka.
Penarikan usulan di PBB dilakukan untuk sementara saja. Indonesia mematangkan rencana mereka dari berbagai aspek, termasuk merancang sebuah Undang-Undang. Rancangan ini dibuat menjelang Konvensi PBB kedua tentang Hukum Laut di Jenewa pada April 1960.
Setelah berusaha selama beberapa waktu, Indonesia akhirnya mampu menyelesaikan konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Pada dasarnya, RUU itu masih mengikuti konsep Ordonansi 1939, hanya saja jarak laut lebih panjang, yang semula 3 mill menjadi 12 mill.
Perpanjangan jarak masih diambil karena Indonesia masih belum berani mengambil risiko yang lebih besar mengingat Indonesia masih jadi negara muda. RUU itu tentu memancing ketegangan antara Belanda dan RI.
Ir. Djuanda terus mencari cara agar mampu melawan peraturan laut internasional demi keutuhan Indonesia, baik keutuhan darat maupun laut. Pada tanggal 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda meminta kepada Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum internasional untuk mengamankan keutuhan wilayah RI.
Dari sini Asas Archipelago (Negara Kepulauan) mulai diperkenalkan. Asas Archipelago merupakan hasil keputusan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Asas ini mengandung pengertian bahwa pulau-pulau tergabung dalam sebuah gugus dan dalam kesatuan utuh. Asas ini juga menganggap bahwa lautan antara pulau-pulau berfungsi sebagai unsur penghubung, bukan unsur pemisah.
Dengan adanya Asas Archipelago sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia menjadi negara kepulauan atau Archipelagic State. Dewan Menteri kemudian memutuskan penggunaan Archipelagic State Principle dalam tata hukum di Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957. Dewan juga mengeluarkan Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia.
Dalam pengumuman, Pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau semua menjadi bagian dari wilayah daratan NKRI.
Pengumuman yang dikeluarkan Dewan Menteri ini akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda. Dengan adanya deklarasi ini, secara otomatis Ordonantie 1939 tidak berlaku lagi. wilayah Indonesia kemudian menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau serta laut yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya. Deklarasi Djuanda menjadi titik awal konsepsi negara maritim Nusantara. Deklarasi ini juga menjadi landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim.