Ketika mendengar Soe Hok Gie, apa yang terlintas di kepala Anda? Jangan-jangan Nicholas Saputra?
Mungkin tidak terlalu berlebihan menyebut Soe Hok Gie atau Gie adalah ikon anak muda setelah Chairil Anwar. Lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942 dan ditemukan meninggal pada 16 Desember 1969 di tanah tertinggi Pulau Jawa, membuat sosok Gie fenomenal hingga sekarang.
Namun, bukan mati muda atau gara-gara mati di gunung yang membuatnya abadi, namun segala aktifitas, kontribusi, dan tulisannya yang membuat Gie ada sampai sekarang.
Soe Hok Gie dan Pergerakannya
Buku Gie yang diterbitkan ulang (dan selalu laris), juga film Gie—rilis tahun 2005 yang dengan apik diperankan Nicholas Saputra dan masih ditonton anak-anak muda yang menobatkan diri di jalan aktifis—membuat sosok Gie tidak lekang dimakan zaman.
Hingga akhir hayatnya, Gie tercatat sebagai mahasiswa dan pengajar di almamaternya, Jurusan Sekarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia adalah anak nomor empat dari lima bersaudara, kakaknya adalah Arief Budiman, yang kini menjadi sosiolog dan akademisi yang kritis terhadap situasi politik tanah air.
Pada masanya, Gie dikenal sebagai intelektual muda yang produktif menulis di beberapa media massa. Banyak dari tulisan-tulisannya di koran merupakan respon dan kritik terhadap politik Indonesia—yang diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan oleh Penerbit Bentang tahun 1995.
Selain tulisannya di media massa, penelitian ilmiah Gie (skripsi) juga diterbitkan dengan judul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Penelitian tersebut mengulas tentang pemberontakan PKI di Madiun yang terjadi pada tahun 1948.
Karena aktifitas yang dilakukan Gie, ia kemudian dekat dengan beberapa orang yang pada zamannya menjadi aktifis dan intelektual. Dari beberapa orang tersebut, kini juga masih eksis berperan penting di pemerintahan, salah satunya adalah Prabowo Subianto.
Kedekatan Soe Hok Gie dengan Prabowo
Mungkin banyak orang tidak tahu jika Soe Hok Gie dan Prabowo adalah teman akrab. Jika membaca bukuGie Catatan Seorang Demonstran, banyak hal tentang Prabowo yang ditulisnya.
Dilansir dari Historia, Pertemanan Gie dan Probowo dimulai ketika Gie aktif sebagai tokoh cendikiawan dalam gerakan bawah tanah anti Sukarno yang dibentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Sejak gegagalan PRRI/Permesta, pada tahun 1961 aktifis di luar negeri membentuk Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI), dimana ayah Prabowo, Prof. Sumitro Djojohadikusumo merupakan salah satu tokoh pentinnya.
John Maxwell dalam disertasinya Soe Hok Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual, dilansir dari sumber yang sama menulis, ketika Prabowo pada tahun 1967 pulang ke Indonesia, kemudian berencana menggalang beberapa intelektual muda untuk membentuk pembangunan di seluruh Indonesia, Gie salah satu di antaranya.
Namun, seiring perjalanan waktu Gie merasa tidak sejalan lagi dengan Prabowo, Soemitro, dan para pendukungnya. Kemudian pada Juli 1969, Gie memutuskan keluar dari proyek yang dibentuk Prabowo. Hal tersebut tidak luput dalam catatan harian Gie.
“Bagi saya Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romatiknya. Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2-3 tahun dan hidup dalam dunia yang nyata, ia akan berubah,” ungkap Soe pada Minggu, 25 Mei 1969, dilansir dari Historia.
Meskipun berbeda pandangan, Soe Hok Gie dan Prabowo Subianto tetaplah seorang sahabat sejati. Bahkan sepatu gunung yang dikenakan Gie untuk mendaki Semeru adalah pinjaman dari Prabowo.