Djawanews.com – Perang Padri merupakan peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat, khususnya di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803-1838.
Bisa dikatakan Perang Padri adalah perang saudara yang melibatkan Minang dan Mandailing.
Perang Padri pada mulanya terjadi karena ada perbedaan prinsip agama antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat.
Peperangan ini berubah menjadi pertempuran melawan penjajah Belanda setelah Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah, terdesak dan meminta bantuan Belanda untuk melawan kaum Padri yang dipimpin oleh Harimau Nan Selapan.
Adapun salah satu tokoh yang paling mengemuka dari Harimau Nan selapan adalah Tuanku Imam Bonjol (pemimpin daerah Bonjol, bagian dari kerajaan Pagaruyung)
Pada 3 Agustus 1837, tepat pada hari ini, 183 tahun yang lalu, serdadu Belanda di bawah pimpinan Andreas Victor Michiels berhasil menguasai keadaan dengan menggebuk orang-orang Padri di Daerah Bonjol.
Hingga akhirnya Daerah Bonjol yang berbenteng benar-benar jatuh di tangan kolonial pada 16 Agustus 1837.
Kendati pada 1837 Benteng Bonjol berhasil dikuasai oleh Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap, peperangan masih terus berlanjut sampai benteng terakhir kaum Padri di Dalu-Dalu (Rokan Hulu) yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai, jatuh pada 28 Desember 1838.
Jatuhnya benteng terakhir kaum Padri tersebut membuat Tuanku Tambusai mundur bersama sisa pengikutnya. Mereka pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai.
Selanjutnya, Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.