Djawanews.com – Nama Utuy Tatang Sontani mungkin kurang begitu familiar bagi generasi milenial pecinta karya sastra.
Padahal, dia adalah seorang penulis drama, cerpenis, dan novelis legendaris di Indonesia di era tahun 1945.
Utuy Tatang Sontani yang lahir pada 1 Mei 1920, masuk dalam jajaran sastrawan angkatan 45 termasyhur. Karena, sejumlah karyanya menjadi penanda bagi perkembangan drama Indonesia.
Misal Suling. Buku yang ditulis oleh Utuy ini dapat membawa kita kembali pada masa penghabisan penjajahan Jepang.
Tak hanya itu, dalam Suling, pembaca juga akan disuguhi permulaan revolusi yang pecah dengan proklamasi Indonesia merdeka.
Berikutnya, ada Awal dan Mira, Langit Ada Bintang, dan Selamat Djalan Anak Kufur yang populer di era 1950-an.
Selain itu, novel bertajuk Si Kabayan (komedi Satu Babak) dan Tambera juga menjadi karya terbaik Utuy yang mendunia hingga diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
Akan tetapi, hidup Utuy justru terjebak di Rusia setelah dia menyelesaikan pengobatan di Beijing, China.
Dia tak bisa pulang ke Indonesia, karena terancam diasingkan, mengingat Utuy adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang disebut berafiliasi dengan Partai Komunis.
Kendati demikian, Utuy tak berhenti menulis. Dia tercatat beberapa kali membuat karya saat tinggal di Moskow.
Beberapa karyanya yang diterbitkan di Rusia adalah Berbicara Tentang Drama, Benih, Bukan Orang besar, hingga Di Bawah Langit Tak Berbintang.
Meski dianggap sebagai sosok penting dalam jagat sasra Indonesia, nama Sastrawan yang meninggal pada 17 September 1979 di Moskow Rusia ini tak banyak diketahui generasi milenial.