Dalam pembentukan wilayah, Aceh menempuh perjalanan panjang sebelum menjadi wilayah Aceh seperti yang sekarang. Perjuangan rakyat Aceh bahkan dimulai sejak era kolonial.
Yang menjadikan Aceh jadi daerah otonom adalah karena sumbangsih Aceh terhadap kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya, Aceh tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, Aceh memang menginginkan perlakuan khusus, yakni menjadi daerah yang berotonom atau berdiri sendiri. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, keistimewaan tersebut didasarkan pada jasa rakyat Aceh terhadap keberlangsungan Indonesia sebagai negara merdeka, selain dukungan moril juga dukungan materi.
Rakyat Aceh dan Sumbangsihnya kepada Indonesia
Dalam buku yang berjudul Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang ditulis oleh Muhammad Ibrahim, dkk (1979), dikatakan bahwa Aceh memberikan bantuan kepada pemerintah pusat dan daerah lain dalam bentuk materi. Misalnya, Aceh dengan sukarela memberikan dua buah pesawat terbang, yaitu Seulawah 001 dan Seulawah 002 kepada Pemerintah Indonesia.
Aceh juga menyumbangkan emas murni yang dulunya sempat digunakan oleh Pemerintah sebagai modal untuk membiayai perjuangan melawan Belanda. Sumbangan juga diberikan kepada Pemerintah pusat untuk membiayai anggota-anggota perwakilan Republik Indonesia untuk melakukan delegasi ke luar negeri.
Sekitar tahun 1949, Provinsi Sumatera Utara mengalami perubahan secara administratif. Sebelumnya, Sumatera Utara memayungi tiga wilayah, yakni Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli. Sampai pada akhirnya wilayah Sumatera Utara dipecah. Pemecahan wilayah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8/Des./WKPM tahun 1949.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah tersebut, Aceh menjadi wilayah yang berotonom sejak 1 Januari 1950. Dalam Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dikatakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh diangkat menjadi gubernur Aceh pada saat itu.
Pembagian wilayah Sumatera Utara menjadi Aceh dan Sumatera Timur ternyata menimbulkan pergolakan, baik dari sebagian masyarakat maupun Pemerintah. Pembentukan Aceh sendiri dianggap bertentangan dengan Undang Undang No. 22/1948. Bahkan, berdirinya Aceh dianggap mempersulit pemerintah dalam merealisasikan semua hasil yang dicapai dalam Konverensi Meja Bundar.
Pergolakan yang saat itu terjadi ternyata cukup menarik perhatian Pemerintah RI. Meski begitu, rakyat Aceh tetap berusaha mempertahankan status Aceh agar tetap menjadi provinsi yang berdiri sendiri. Masyarakat Aceh juga sempat meyakinkan pantia penyidik yang saat itu sengaja ditugaskan untuk menyelidiki pembentukan Provinsi Aceh.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mempertahankan Aceh sebagai sebuah provinsi, namun, Pemerintah tetap menemui berbagai kesulitan. Terutama dalam hal pelaksanaan pembangian wilayah RI yang baru, yang saat itu masih menetapkan pembagian wilayah RI hanya sebanyak 10 provinsi.
Untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan Provinsi Aceh, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang di dalamnya memuat perubahan kewilayahan Aceh. Pada tahun 1951, Aceh kembali menjadi salah satu karesidenan yang tergabung dalam Propinsi Sumatera Utara bersama Sumatera Timur dan Tapanuli.
Dikembalikan status Aceh menjadi karesidenan ternyata semakin mambuat keadaan Aceh bergejolak. Atas permasalahan tersebut, DPRD Aceh mengajukan mosi kepada Pemerintah Pusat yang berisi berbagai alasan agar Aceh mendapat status otonomnya lagi. Pemerintah Pusat kembali menurunkan timnya untuk membicarakan masalah pembentukan Provinsi Sumatera Utara.
Pertentangan mulai ditunjukkan oleh masyarakat Aceh karena status Aceh yang tak lagi menjadi daerah yang berotonom. Pada akhirnya, untuk memenuhi tuntutan masyarakat Aceh, Presiden Soekarno mengubah kembali status Karesidenan Aceh menjadi Daerah Otonom Provinsi Aceh.
Aceh yang kembali menjadi berotonom tertuang dalam UU No.24 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan situs bpk.go.id, peraturan tersebut ditetapkan pada tanggal 29 November 1956 dan berlaku mulai 7 Desember 1956. Sejak UU tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh berlaku, Aceh mendapat hak otonom yang luas. Hal tersebut diikuti dengan berbagai pembangunan di segala bidang, termasuk pendidikan. Aceh semakin berkembang hingga sekarang.