Presiden Jokowi sudah menetapkan Ibu negara di sebagian Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Salah satu terbesar yang menyangga ibu negara tersebut yakni Samarinda.
Samarinda sebagai ibu Kalimantan Timur merupakan kota terbesar di kepulauan Kalimantan. Memiliki luas wilayah 718 km2, Samarinda menampung 812.597 jiwa. Samarinda terdiri dari beragam suku, tetapi yang mendominasi yakni suku Kutai dan Banjar. Selain itu juga ada suku Bugis, Bajo, Jawa, Dayak, dan Tionghoa.
Samarinda berdiri 352 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Januari 1668.
Samarinda: dari Datangnya Bugis Wajo sampai bergabungnya 6 Kampung
Samarinda merupakan salah satu wilayah kerajaan Kutai Negara. Pada 21 Januari 1668 datanglah rombongan Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona yang menetap di wilayah tersebut. Mereka diberikan hak tinggal oleh Raja Kutai saat itu yakni Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura dengan syarat harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.
Suku Bugis Wajo kemudian membangun Samarinda dengan membangkitkan sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan.
Suku Bugis, selain suku Banjar yang lebih dahulu bermukin, kemudian menjadi penduduk tetap Samarinda sampai sekarang. Tanggal kedatangan Bugis Wajo pun ditetapkan sebagai hari berdirinya Kota Samarinda.
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 sebagai hari berdirinya Samarinda dilegitimasi pada kepemimpinan Wali Samarinda Drs. H. Abdul Waris Husain dengan Peraturan Daerah Tingkat II Samarinda Nomor 1 tahun 1988 pasal 1 yang berbunyi: “Hari Jadi Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 Hijriyah”
Sebelumnya di Samarinda, sekitar abad ke-13 Masehi, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi yaitu: Pulau Atas; Karangasan (Karang Asam); Karamumus (Karang Mumus); Luah Bakung (Loa Bakung); Sembuyutan (Sambutan); dan Mangkupelas (Mangkupalas).
Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip (naskah) surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 H (24 Februari 1849 M). Keenam kampung tersebut kemudian bergabung menjadi satu wilayah yang disebut Samarinda.
Bahasa Banjar dan Nama Samarinda
Ketika Kerajaan Kutai Kartanegara berada dalam otoritas Kerajaan Banjar setelah runtuhnya Kesultanan Demak pada tahun 1546 Masehi, suku banjar menyebar ke wilayah Kalimantan timur, salah satunya ke Samarinda. Sehingga bisa dikatakan suku Banjar merupakan suku yang termasuk paling awal masuk ke wilayah Samarinda.
Hal itulah yang melatarbelakangi terbentuknya bahasa Banjar sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah ada beragam suku pendatang lainnya.
Sedangkan asal mula nama Samarinda terdapat bermacam-macam versi. Tetapi pendapat yang dominan yakni Samarinda berasal dari kata “sama rendah”. Kata “sama rendah menunjuk permukaan Sungai Mahakam pada saat itu yang rendahnya dengan pesisir daratan kota yang membentenginya.
Pendapat lain menyebut kata “sama rendah” menunjuk persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di Samarinda Seberang.
Ada juga yang menyebut nama Samarinda berasal kata dari bahasa Sansekerta, yaitu “Samarendo” yang berarti selamat sejahtera. Beragam versi di atas menunjukkan kekayaan sejarah dan budaya yang dimiliki Kota Samarinda.