6 desember 1822 menjadi hari terakhir Sultan Hamengkubuwana (HB) IV memerintah Kasultanan Yogyakarta. Ia meninggal setelah kembali ke keraton dari perjalanan ke salah satu pesanggrahannya.
Saat ini, kematian HB IV masih menjadi misteri, ada yang mengatakan ia meninggal karena di racun.
Sri Sultan Hamengkubuwana IV lahir pada 3 April 1804 dengan nama kecil Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot. Ia merupakan putra Sri Sultan Hamengkubuwana III dengan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hageng.
Menjadi sultan belia
Pangeran Jarot mewarisi tahta sang ayah setelah Sultan HB III tewas dengan sebab yang masih belum diketahui.
Ia diangkat menjadi raja dengan gelar Sultan HB IV saat umurnya masih 10 tahun dan baru memerintah Kasultanan Yogyakarta secara resmi 6 tahun kemudian.
Melansir Tirto, GRM Ibnu Jarot pada dasarnya bukanlah anak sulung Sultan HB III. Putra tertua dari HB III sebenarnya adalah Raden Mas Antawirya.
Akan tetapi, Pangeran Antawirya tidak lahir dari permaisuri, namun dari istri selir bernama R.A Mangkarawati. Statusnya, membuat Antawirya tidak ditunjuk sebagai putra mahkota oleh Sultan HB III, dan yang berhak atas tahta Yogyakarta adalah Pangeran Jarot.
Di masa selanjutnya, Antawirya menjadi orang yang getol melawan Belanda. Orang-orang lebih familiar dengan nama Pangeran Diponegoro, dilansir dari Tirto.
Masih dari Tirto, karena pada saat diangkat menjadi raja, umur Pangeran Jarot masih belia, maka tampuk kekuasan untuk sementara dipegang oleh orang yang ditunjuk sebagai wali raja, yakni Pangeran Natakusuma alias Pakualam I.
Kondisi ini menyebabkan Natakusuma menduduki dua singgasana sekaligus yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam I.
Pengukuhan Natakusuma menjadi penguasa Kadipaten Pakualam dilakukan dua tahun sebelum ia menjadi wali raja dari Pangeran Jarot.
Memimpin dua kerajaan membuat fokus Pakualam I terbagi, tentu saja ia lebih mengutamakan kekuasaan di Kadipaten Pakualam yang sudah pasti menjadi miliknya.
Terlebih lagi, ia pernah membantu pemerintah kolonial, sehingga saat masa kekuasaan HB IV, Kasultanan Yogyakarta seolah tidak ada gaungnya, dikutip dari Tirto.
Dualisme jabatan Pakualam I memunculkan polemik internal di lingkungan istana Yogyakarta. Salah satunya karena ulah Patih Danureja IV.
Sejarawan Peter Carey dalam “Sisi Lain Diponegoro” (2017) mengambarkan Patih Danureja IV sebagai orang yang korup dan ambisius. Ia juga suka membantu Belanda untuk melancarkan kepentingan pribadinya.
Polemik yang disebabkan oleh Patih Danureja IV tidak ada yang bisa menghadang, karena ia memiliki kekuasaan yang besar. Pengaruhnya juga tak bisa dihentikan oleh Pakualam I sebagai wali raja, terlebih Sultan HB IV yang masih belum beranjak dewasa.
Pada 20 Januari 1820, Pakualam I menyerahkan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta ke Pangeran Jarot karena sudah mencapai akil baligh. Dengan demikian GRM Ibnu Jarot alis Sultan HB IV resmi memegang kekuasaan, kala itu usianya 16 tahun.
Berkuasa paling singkat
Saat diangkat menjadi raja secara resmi, HB IV belum lagi berpengalaman dalam memimpin Kasultanan Yogyakarta, hal itu membuah Patih Danureja IV semakin menjadi-jadi dan menancapkan pengaruhnya ke Kasultanan semakin dalam.
Situasi ini membuat hubungan Pangeran Diponegoro dengan Keraton Yogyakarta menjadi renggang.
Patih Danureja IV mendukung sewa tanah untuk swasta. Hal ini menyebabkan penduduk kasultanan semakin sengsara.
Sebelumnya, para pengusaha Eropa belum pernah menjalankan usaha perkebunan dengan kapasitas yang besar seperti kopi dan nila sampai pada tersebut.
Tidak hanya itu, Patih Danureja IV juga membuat saudara-saudaranya menduduki poisi strategis.
Puncak konflik antara Pangeran Diponegoro dengan Patih Danureja IV terjadi saat Garebeg Sawal pada 12 Julo 1820. Di depan HB IV, Raden Mas Antawirya menghina Patih Danureja IV karena telah menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.
Konflik ini terus berlanjut, sampai akhirnya Patih Danureja IV membantu Belanda dengan mengerahkan orang-orangnya untuk menyerang Diponegoro. Mereka lalu membakar rumah Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo dengan serdadu Belanda.
Peristiwa ini menjadi awal meletusnya Perang Jawa pada 1825-1830
Pengaruh Patih Danureja IV yang begitu besar membuat Sultan HB IV tidak bisa berbuat banyak. HB IV tidak bisa menghentikan manuver berbahaya yang dilakukan oleh Sang Patih.
Tepat pada hari ini, 197 tahun silam, tepatnya pada 6 Desember 1822, Sultan HB IV wafat pasca kembali ke Keraton Yogyakarta dari perjalanan ke salah satu pesanggrahannya. Ia meninggal dalam usia 19 tahun.
Ia kemudian dikenal dengan nama Sultan seda besiyar (sultan yang wafaat saat keluar pesiar).
Sementara itu, kematian HB IV digambarkan dengan sangat mengenaskan. Menurut Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1758-1855 (2011), “…Sepertinya ia mendadak kena serangan penyakit, saat sedang makan—dan tubuhnya langsung membengkak, suatu pertanda…bahwa ia telah diracuni” (hlm. 591), mengutip Tirto.
Berita HB IV yang meninggal karena diracun disebarkan oleh orang-orang Patih Danureja IV dan menuduh Pangeran Diponegoro sebagai dalang dibalik peristiwa tersebut.
Di sisi lain, Raden Mas Antawirya alias Diponegoro menuduh patih Danureja IV sebagai biang keladi kematian Sultan HB IV.
Hingga kini, kematian Sultan HB IV masih menjadi misteri. Ia wafat setelah hampir tiga tahun menjalankan pemerintahan secara mandiri. Masa pemerintahannya juga menjadi yang paling singkat di antara Raja-Raja Kasultanan Yogyakarta lainnya.