KH Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 di Yogyakarta. Ia dikenal sebagai tokoh yang berjuang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Komitmen KH Ahmad Dahlan bisa dirasakan sampai sekarang melalui Muhammadiyah.
Djawanews.com – 152 tahun yang lalu, tepatnya 1 Agustus 1868, Muhammad Darwisy yang kemudian berubah nama menjadi Ahmad Dahlan dilahirkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sejak saat itu, nama KH Ahmad Dahlan selalu diperhitungkan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, khususnya di bidang pendidikan.
Bukan tanpa sebab mengapa KH Ahmad Dahlan kerap disangkutpautkan dengan pendidikan. Seperti yang diketahui, ia adalah salah satu tokoh pendiri organisasi terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah.
KH Ahmad Dahlan memang memiliki terobosan pendidikan pada zamannya. Ia juga jadi salah satu tokoh dengan pemikiran yang lebih maju dibanding masyarakat lain pada zamannya.
Satu dari sekian banyak terobosan Ahmad Dahlan adalah mampu memadukan sistem pendidikan kolonial Belanda dan pendidikan islam tradisional dalam bentuk pesantren. Hasilnya, kurikulum pendidikan agama islam yang dulu hanya diajarkan di pesantren, bisa diajarkan pula ke sekolah-sekolah formal.
Hal tersebut yang kemudian melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah. Tidak hanya mendirikan sekolahan, Ahmad Dahlan juga mulai mengajarkan agama islam secara konsisten di luar pendidikan pesantren. Dari sini komitemn Muhammadiyah dalam dunia pendidikan mulai terbentuk.
Tidak hanya menjadi organisasi keagamaan, Muhammadiyah juga berperan penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia sejak zaman dulu. Terbukti dari banyaknya pondok pesantren dan instutusi pendidikan yang ada di seluruh Indonesia, mulai jenjang pendidikan terendah hingga tertinggi.
Sayangnya, di hari kelahiran KH Ahmad Dahlan ini, ada satu ironi yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia dan melibatkan Muhammadiyah.
Seperti yang diketahui, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan Program Organisasi Penggerak (POP). Program tersebut difungsikan untuk mendorong hadirnya Sekolah Penggerak yang melibatkan peran serta organisasi. Program tersebut didanai oleh negara dengan anggaran sebesar Rp567 miliar per tahun.
Semangat membangun pendidikan KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah sebenarnya masuk dalam kriteria program POP besutan Nadiem. Sayangya, Muhammadiyah beserta NU dan PGRI yang telah sama-sama berjuang dalam pendidikan menyatakan mundur lantaran program tersebut dianggap bermasalah.
Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasiyarno, mengatakan bahwa kriteria ormas yang ditetapkan lolos dalam evaluasi proposal POP sangat tidak jelas.
“Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah,” Kasiyarno dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (22/7/2020).
Ia juga menyatakan tak sepakat dengan adanya dua yayasan perusahaan yang justru lolos sebagai Organisasi Penggerak meski umurnya masih muda. Kedua yayasan tersebut adalah Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation.
Keduanya adalah program yang didanai perusahaan besar, sehingga dengan adanya penggelontoran dana ke dua yayasan tersebut hanya akan membebani keuangan negara.
Kasiyarno mengatakan, Muhammadiyah telah memiliki 30 ribu satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak hanya itu, Persyarikatan Muhammadiyah telah membantu banyak dalam menyelenggarakan pendidikan bahkan sejak Indonesia belum merdeka.
“Sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemdikbud RI sesuai surat Dirjen GTK tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020,” kata dia.
Meski demikian, Nadiem Makarim telah menyampaikan permintaan maafnya kepada tiga organisasi pendidikan di Indonesia, khususnya kepada Muhammadiyah.