Djawanews.com – Setiap tanggal 31 Mei, saban tahun Surabaya merayakan hari lahir kotanya. Hari lahir yang barangkali tidak lebih populer ketimbang peringatan Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November bertepatan dengan ekspansi Inggris ke Surabaya di tanggal yang sama pada tahun 1945, sekaligus dimulainya babak baru pertempuran Surabaya nan melegenda.
Ya, jauh sebelum pertempuran dahsyat yang dimulai dengan dibomnya kota Surabaya oleh serdadu Inggris tersebut, nama kota ini sejatinya telah tercatat di berbagai kitab pada zaman kerajaan Jawa, jauh sebelum era kolonial merangsek Nusantara.
Ditetapkannya hari kelahiran dan asal usul nama Surabaya
Dahulu, pada era prakolonial, kota Surabaya merupakan gerbang utama dari arah laut tepatnya di kawasan muara Kali Mas untuk memasuki ibu kota Kerajaan Majapahit. Hari jadi kota Surabaya pun disahkan sejak pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya sanggup mencegah pasukan Mongol besutan Kubilai Khan menduduki kawasan ini pada 31 Mei 1293.
Hari kemenangan tersebut kemudian diabadikan sebagai hari berdirinya Kota Surabaya. Beberapa sumber mengungkapkan, berdasarkan pertempuran itu pula, filosofi nama Surabaya bermula. Pasukan Raden Wijaya, dianalogikan sebagai Baya (Buaya) yang berhasil menghalau pasukan Mongol asuhan Kubilai Khan dan dianalogikan sebagai Sura (Ikan Hiu).
Versi lain menyebut nama Surabaya berawal dari pertempuran adu kesaktian antara seorang pendekar utusan Majapahit, Sawunggaling dengan Adipati Joyonegoro yang diutus Raden Wijaya untuk mengamankan kawasan Ujung Galuh (nama Surabaya dahulu). Penamaan Surabaya konon diambil dari dua ilmu kesaktian yang dimiliki keduanya, ilmu sura dimiliki Sawunggaling, sementara ilmu buaya dimiliki Adipati Joyonegoro.
Tak berhenti sampai di situ, versi lebih klasik menyebut nama Surabaya bahkan sudah tercantum dalam prasasti Trowulan I yang diperkirakan dipahat pada 1358 M. Dalam prasasti tersebut kota ini bernama Churabaya.
Selain Trowulan I, Churabaya juga tercantum dalam pujasastra Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapañca. Dalam karya tersebut, Churabaya diceritakan pada pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir) ketika Raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan laut pada tahun 1365.