Djawanews.com – Bandung Lautan Api merupakan sebutan untuk peristiwa sejarah, yakni pembakaran Kota Bandung sebagai upaya menjaga kedaulatan Indonesia.
Istilah Bandung Lautan Api pertama kali muncul di harian Suara Merdeka pada tanggal 26 Maret 1946.
Seorang wartawan muda bernama Atje Bastaman, menyaksikan pembakaran Kota Bandung dari bukit Gunung Leutik, Garut. Dari sana, ia melihat Bandung yang memerah karena dilalap api mulai dari Cidadas sampai Cimindi.
Saat tiba di Tasikmalaya, Atje langsung menulis berita tentang apa yang dilihatnya tentang Kota Bandung. Ia memberi judul beritanya: “Bandoeng Djadi Laoetan Api”.
Akan tetapi, karena kurangnya ruang di Koran Suara Merdeka, judul itu dipangkas menjadi ‘Bandoeng Laoetan Api”.
Sejarah Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api bermula saat pasukan sekutu di bawah pimpinan Kolonel McDonald mendarat di Bandung pada Oktober 1945.
Kedatangan mereka bertujuan untuk melucuti tentara Jepang serta membebaskan tawanan Eropa Belanda.
Selain itu, mereka menuntut laskar pejuang, polisi dan TKR Indonesia yang terdiri dari bekas KNIL, Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), Pembantu Tentara (Heiho) serta barisan pemuda (Seinendan) agar menyerahkan senjatanya kepada sekutu.
Akan tetapi, tuntutan tersebut tidak digubris. Para pejuang Indonesia dengan gagah berani menyerang pasukan Inggris di Bandung Utara, tepatnya di Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger.
Kolonel McDonald yang berang dengan serangan tersebut mengeluarkan ultimatum kepada pihak Indonesia melalui Gubernur Jawa Barat, pada 24 November 1945.
Ia memerintahkan agar Bandung Utara dikosongkan dari penduduk. Lagi-lagi peringatan itu diabaikan.
Lalu terjadilah pertempuran di beberapa daerah seperti Cihargeulis, Sukajadi, Pasikaliki, viaduct dan balai kereta api.
Pasukan Inggris bahkan menjatuhkan bom ke Lengkong Besar dan Cidadas. Mereka juga membebaskan tawanan Eropa di Lengkong Besar.
Bandung Dibumihanguskan
Pada 23 Maret 1946, Kolonel McDonald mengeluarkan ultimatum kedua. Ia memerintahkan agar Bandung Selatan juga harus dikosongkan dari rakyat sipil dan pejuang Indonesia.
Ultimatum itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Tentara Rakyat Indonesia (TRI)—sebelumnya bernama TKR, diubah menjadi TRI pada 26 Januari 1946.
Kolonel Abdul Harus Nasution sebagai komandan pasukan Indonesia sempat berbicara kepada Perdana Menteri Sutan Syahrir terkait opsi mempertahankan atau menyerahkan Kota Bandung ke tangan sekutu.
Syahrir yang tidak yakin dengan kekuatan TRI meminta Nasution untuk menerima ultimatum agar Bandung dikosongkan. Namun, permintaan itu ditolak oleh Nasution.
Nasution kemudian menggelar rapat dengan petinggi militer Indonesia lainnya. Hasilnya, mereka sepakat untuk mempersulit kehadiran Pasukan Sekutu dengan cara membumihanguskan Bandung.
Pembumihangusan Bandung dinilai sebagai jalan terbaik ketimbang harus menyerahkannya ke tangan sekutu.
Nasution memang pada akhirnya mentaati perintah Syahrir untuk mengkosongkan Bandung. Namun, para pejuang dan rakyat sipil tidak pergi begitu saja.
Rencana membumihanguskan Bandung mulai dilaksanakan dini hari tanggal 24 Maret 1946. Meski demikian, ada yang sudah memulai sejak pukul 21.000 tanggal 23 Maret 1946.
Adapun gedung pertama yang menjadi sasaran adalah Bank Rakyat, berlanjut ke Banceuy, Cidadas, Braga dan Tegallega.
Pembakaran tersebut membuat sekutu tidak mendapatkan manfaat apapun dari Kota Bandung.
Aksi heroik TRI yang dipimpin oleh Nasution dan rakyat sipil yang membumihanguskan Kota Bandung itu belakangan melahirkan lagu Halo Halo Bandung, yang sampai sekarang masih belum jelas siapa penciptanya.
Sisa-sisa perjuangan mempertahankan Bandung dari tangan sekutu masih dapat kita temui sampai saat ini. Mereka hadir sebagai pengingat atas jasa para pejuang kemerdekaan RI yang tak rela Bandung Jatuh ke tangan penjajah.