Di kancah perpolitikan Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) harus menempuh perjalanan panjang untuk menunjukkan eksistensinya. Partai yang mengusung logo kepala banteng dan warna merah sebagai warna dominan itu bahkan mengalami beberapa perubahan sebelum seperti yang sekarang.
Awal perjalanan PDIP dimulai dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI sendiri memiliki keterkaitan dengan beberapa partai pada masa orde baru, termasuk dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada 1927.
Partai Demokrasi Indonesia dan Semangat Demokrasi
Dalam sejarahnya, PDI dibentuk sewaktu Soeharto masih menjabat sebagai Presiden RI. Saat itu, Presiden Soeharto memiliki gagasan untuk menyederhanakan partai yang ada. Penyederhanaan itu dilakukan oleh Presiden Soeharto dengan alasan karena banyaknya partai politik yang ada di Indonesia justru menyulitkan diri sendiri.
Penggabungan yang ingin dilakukan Soeharto terhadap partai-partai yang ada belakangan disebut dengan fusi.
Wacana Presiden Soeharto untuk menggabungkan partai politik secara serius dilakukan. Hingga pada 7 Januari 1970, Soeharto melakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh dari berbagai partai politik. Sebanyak 9 tokoh Parpol berhasil dikumpulkan.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden mengemukakan gagasannya untuk mengelompokkan partai politik ke dalam beberapa kelompok. Berdasarkan sebuah artikel yang diunggah Tirto, Soeharto mencoba mengelompokkan partai ke dalam beberapa golongan, yakni Golongan Spirituil, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya.
Dalam pertemuan tersebut, Soeharto kembali mengatakan maksud dan tujuan adanya fusi Parpol, yakni untuk menciptakan stabilitas politik yang dikatakan sebagai tanggung jawab bersama. Selain itu, fusi Parpol dilakukan sebagai salah satu cara untuk meredakan konflik menjelang Pemilu 1971. Sayangnya, fusi partai politik saat itu tak berhasil dilakukan.
Orde Baru dan Usaha Mengaburkan Demokrasi
Meski Soeharto mengatakan bahwa fusi Parpol dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas, pada dasarnya ada tujuan lain yang ingin diraih, yakni menguasai kursi yang ada di MPR melalui Golkar. Untuk itu, Orde baru menggunakan berbagai cara agar memenangkan Pemilu 1971, dan hal tersebut berhasil.
PNI yang saat itu cukup mendominasi politik di Indonesia, ternyata mampu dikalahkan oleh Golkar. Golkar saat itu berhasil mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR) yang disusul dengan partai-partai lain. Sedangkan PNI hanya meraih 6,9 persen suara (20 kursi).
Setelah berhasil mendominasi kursi DPR dan MPR, MPR mengeluarkan pernyataan bahwa di Pemilu selanjutnya, 1977, hanya ada tiga peserta. Keputusan ini yang kemudian memaksa para partai untuk menggabungkan diri.
Fusi partai politik dilakukan oleh beberapa Parpol, misalnya, pada 5 januari 1973 partai-partai Islam membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP adalah gabungan dari NU, PSII, dan Perti. Sedangkan pada 10 Januari 1973, Parpol lain juga ikut menggabungkan diri, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik Republik Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Murba. Kelima partai ini membentuk sebuah partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI), cikal bakal PDIP.